Lihat ke Halaman Asli

Siti Aisah

Mahasiswa

Demonstrasi Ojol Menuntut Kenaikan Tarif dalam Konflik Realistis

Diperbarui: 20 Oktober 2022   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi Demo Ojek Online Depan Kantor DPR RI (kumparan.com)

Kenaikan harga BBM kini menjadi permasalahan sosial-ekonomi bagi masyarakat Indonesia. Berbagai dampak buruk yang dirasakan, khususnya pada masyarakat kelas menengah. Bekerja sebagai buruh lepas atau karyawan swasta dengan pendapatan normal saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Apalagi keputusan pemerintah untuk menaikan harga BBM subsidi menjadi penderitaan masyarakat itu sendiri. Kenaikan harga BBM bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Kenaikan BBM berawal pada masa presiden Soeharto sampai presiden Joko Widodo.

Pemerintah resmi menaikan harga BBM pada tanggal 3 September 2022. Jenis bahan bakar yang naik antara lain; Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, Solar dari Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, dan Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter. 

Kebijakan tersebut justru berimbas pada kenaikan bahan pokok. Tidak hanya itu, pendapatan buruh juga menurun terutama pada profesi Ojek online. Sehingga mereka melakukan aksi demonstrasi untuk meminta kenaikan tarif sebesar 30%. Hal tersebut menjadi konflik antara Ojek online dan Pemerintah.

Secara umum Konflik adalah pertentangan kepentingan. Artinya adanya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Menurut tokoh Sosiologi Konflik, Lewis Cosser mendeskripsikan konflik sebagai akibat dari kepentingan-kepentingan kelompok yang saling bertentangan. 

Coser mengkritik kaum fungsionalis yang terlalu menekankan consensus nilai norma dan tatanan. Coser membagi konflik berdasarkan situasi terbagi 2 yaitu; konflik realistis dan non realistis. Konflik realistis yaitu adanya kekecewaan individu/kelompok masyarakat terhadap sisitem yang ada tuntutan hubungan sosial. 

Adapun contoh konflik realistis seperti Demonstrasi yang dilakukan Ojol atas kenaikan BBM. Kemudian konflik non realistis yaitu konflik yang bukan berasal dari tujuan persaingan yang berlawanan. Sehingga menjadikan pihak ketiga sebagai kambing hitamnya dengan tujuan mengatasi permasalahan tersebut. 

Adapun contohnya seperti Polisi yang melawan dan mengatasi demonstrasi Ojol. Padahal tujuan demonstrasi tersebut ditujukan pada Pemerintah tetapi Polisi sebagai pihak ketiga untuk menangani permasalahan tersebut. 

Konflik realistis dan non realistis sering kita jumpa pada kehidupan sehari-hari. Menurut Coser, konflik tidak hanya memiliki sisi negatif tetapi juga sisi positif. Misalnya untuk meningkatkan rasa solidaritas dan kekompakan seperti aksi demonstrasi Ojol yang sama-sama menuntut hak keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline