Lihat ke Halaman Asli

Ai Rosita

Menjadi seseorang yang memiliki arti dan berguna untuk dirinya sendiri dan lingkungan sekitar

Menjadi Orang Tua Tunggal

Diperbarui: 22 Oktober 2024   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak mudah baginya hidup menjadi single parents dengan dua orang anak. Menjadi janda di usia 30 tahun bukanlah hal yang dia inginkan. Ketika seseorang memutuskan untuk menikah tentu tak pernah berpikir untuk bercerai. Menjalani pernikahan bahagia tentu menjadi impian semua orang, begitupula dengan Risa.  Percekcokan selalu terjadi setiap hari. Selalu saja ada hal yang diributkan, seringkali pertengkaran terjadi di depan anak-anak. Tentu itu tidak sehat untuk tumbuh kembang mereka.

Awalnya dia hanya mencoba untuk pulang ke rumah orang tuanya. Rasanya sudah tidak kuat jika harus melanjutkan rumah tangga, jika diantara kita sudah tidak ada saling memahami, apa yang mesti dipertahankan, mungkin sudah watak Deni yang sulit dirubah. Itu yang dia utarakan pada orang tuanya. Stigma negative menjadi janda dia dapatkan dari tetangga sekitarnya. Meski sudah menyiapkan mental, namun tetap saja terdengar bisik-bisik tetangga yang menggosipkan dia. "Padahal aku tidak bersikap genit pada lelaki lain, tetap saja menjadi janda itu dipandang rendah" kata dia berkeluh kesah. Meskipun sudah menjadi keputusannya mengakhiri pernikahan dan telah menyiapkan mental, namun tetap saja menerima stigma negative membuat dia sedih dan sempat down mentalnya.

"Orang tuaku tahu watak mantan suamiku" katanya suatu hari dia bercerita padaku. Risa, teman kantorku sering curhat padaku tentang kehidupan rumah tangganya. Sebenarnya, ketika memutuskan untuk menikah orang tua Risa tidak terlalu setuju. Bapaknya Risa tidak menyukai watak Deni yang terlihat sombong jika sedang ngobrol. Dia selalu menyombongkan keluarganya sebagai turunan ningrat. Padahal rumah saja mereka masih ngontrak.

"Mungkin karena ijin orang tua yang setengah-setengah itu kehidupan rumah tanggaku seperti ini ya, rasanya sudah nggak kuat lagi." Curhatan Risa kembali di saat-saat luang mengerjakan pekerjaan kantor.

"Nggak coba untuk mempertahankan demi anak-anak?" kataku, anak pertama Risa perempuan berusia 7 tahun dan anak keduanya laki-laki baru berusia 3 tahun. Ada drama juga saat Risa tahu kalau dia hamil anak kedua. Dia sempat ingin menggugurkan kandungan karena dia merasa tidak siap untuk hamil. Dengan kondisi rumah tangga yang menurutnya seperti neraka. Selain masalah ekonomi, perselingkuhan juga menjadi bumbu penyebab perceraian mereka.

"Justru, karena ini demi anak-anak. Aku tidak mau mereka selalu melihat pertengkaranku." Sudah hampir delapan tahun usia pernikahan Risa dan Deni. Hampir setiap hari aku mendengar curhatannya. Aku tidak dapat banyak memberikan saran pada Risa. Menjadi pendengar setia sebagai teman mungkin sedikitnya bisa menghilangkan beban masalah yang dia rasakan. Karena terkadang orang yang curhat hanya butuh didengarkan saja. Aku yakin Risa tahu mana yang terbaik untuknya.

Di awal pernikahan memang sudah tidak ada kecocokan diantara mereka. Risa yang lebih terlihat dominan dan Deni yang terlihat begitu nurut pada Risa, seolah-olah tidak punya harga diri sebagai suami karena dia selalu disetir Risa. Deni hanya bisa membanggakan keluarganya yang katanya turunan ningrat. Gaji yang Risa dapatkan lebih besar dari gaji suaminya. Bagi Risa, suaminya bukan seorang pekerja keras dan terkadang dia tidak tegas. Dia sebagai kepala keluarga, tapi Risa yang selalu berpikir. Entah karena dia anak paling bungsu yang mungkin paling dimanja oleh orang tuanya, sehingga tak bisa hidup mandiri meski sudah menjadi suami. Ketika masih numpang di rumah orang tua Risa selama 5 tahun, tidak ada keinginan sama sekali dari mantan suaminya untuk memiliki rumah sendiri. Merasa nyaman tinggal di rumah orang tua Risa, makana sudah selalu tersedia, anak-anak ada yang membantu merawat. Meski gaji sedikit tapi tidak pernah merasakan kekurangan karena masih dibantu oleh orang tua Risa. Dia tidak malu ongkang-ongkang kaki di rumah orang tua Risa. Sikap seperti itu yang terkadang membuat Risa kesal pada kelakuan mantan suaminya. "Aku tidak masalah gajiku lebih besar dari suamiku, tapi setidaknya ada usaha dari dia untuk bisa berubah. Minimal ketika di rumah orang tuaku dia bisa menempatkan diri dan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga."

Risa memaksakan diri untuk membeli rumah, meskipun harus nyicil. "Kamu juga pasti yang nyicil rumah" begitu kata ibunya Risa. "Siapa tahu jika pindah rumah dia akan bisa berpikir" alasan itu yang memaksakan Risa untuk membeli rumah secara kredit.

Ketika pindah rumah bukannya berubah suami Risa malah selingkuh dengan teman kantornya.

"Aku capek kerja bantu nyari uang, berpikir bagaimana bisa mencukupi kebutuhan ekonomi dan menutup cicilan, dia malah selingkuh Ta", itu menjadi puncak kesabaran Risa dalam menghadapi suaminya. Sudah tidak ada pilihan lain, bercerai merupakan keputusan terbaik yang harus diambil. Apalagi yang mau diperbaiki, sudah jauh sekali perbedaan prinsip diantara mereka, kehadiran wanita lain membuat harapan membina rumah tangga yang diimpikan Risa semakin sirna.

Dulu Risa pernah bercerita kalau memutuskan menikah hanya berdasarkan kenyamanan. Risa merasa nyaman dengan Deni karena mereka sama-sama berasal dari latar belakang ekonomi yang hampir sama. Risa takut jika dia menikah dengan orang yang berlatar ekonomi menengah atas. Padahal aku yakin banyak lelaki lain yang suka sama Risa, kata teman kampusnya Risa salah satu bintang kampus. Dia takut keluarganya akan direndahkan, jadi dia yakin untuk menikah dengan Deni, meski orang tuanya kurang menyetujuinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline