Lihat ke Halaman Asli

Saya, Istri, dan Anak Saya Menjadi Saksi Suburnya Negeri Ini

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

.........

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman

.......

Lirik lagu dari grup musik Koes Plus kelanjutan dari koes Bersaudara yang dibentuk pada era tahun 60-70an jika dibaca secara utuh menyiratkan banyak makna. Lagu berjudul Kolam Susu menceritakan betapa beruntung orang yang hidup dibumi Indonesia. Pada waktu SMA (1997 an) awal saya sedikit memahami hidup, mendengarkan lagu Kolan Susu memang terkesan sinis karena sangat tidak mungkin semudah itu penduduk Indonesia dalam menjalani hidup.

Dalam era Reformasi tahun 2007 ketika lulus kuliah S2 di Yogyakarta, saya memutuskan untuk menikah. Saya memilih tinggal disebuah desa pinggiran yogyakarta atas saran bapak ibu yang gemar bertani (orang biasanya menyebut saya wong nDeso). Kehidupan awal pernikahan saya mengalami sedikit kesulitan finansial, sehingga harus banyak cara memutar otak di kepala. Menjalani kehidupan nyata memang saya rasa sangat berbeda dengan teori yang saya pelajari dari bangku kuliah.

Pilihan untuk hidup di desa cukup meringankan keuangan keluarga. Sepulang bekerja saya dan istri mengolah kebun belakang rumah. Kami menanam kangkung, bayam, brokoli, pokcai serta sayuran lain dipinggir kolam. Lauk kami dapatkan dari telor yang dihasilkan dari 6 ekor ayam dan ikan kolam. Kebun belakang rumah menjadi “supermarket keluarga”, malah dengan kualitas lebih bersih dan organik. Lumayan.. kami setidaknya mengurangi 85% pembelanjaan keluarga, sehingga bisa ditabung.

Tidak lelah mengamati lingkungan sekitar. Saya mencoba memodifikasi dari beberapa hal yang dilakukan kakek nenek bahkan tetangga. Kami akhirnya menemukan pohon jambu getas merah, jeruk nipis untuk melengkapi kebun, disamping berfungsi sebagai pelindung rumah dari panas matahari sore. Selang 6 bulan jambu Getas merah dan jeruk nipis sudah bisa panen. Kami biasa menjual jambu dengan harga Rp 4000/kg dan jeruk nipis Rp 6500/kg dipanen sebulan 1-2 kali. Sebulan jumlahnya tidak banyak jambu 65kg, jeruk nipis 5kg. Lumayan lagi... dapat untuk membantu membayar listrik hanya dengan memanajemeni tanaman.

Tahun 2008 anak saya lahir. Seperti orang jaman dahulu, saya nenanam 3 pohon jati dan 5 pohon sengon sebagai penanda. Pohon-pohon itu setelah saya pahami ternyata bukan hanya sekedar penanda saja. Ternyata tabungan atau jaminan pendidikan untuk anak. Akhir tahun ini kami mungkin akan menjual 5 pohon sengon dengan harga yang kami anggap cukup bagus, sudah ditawar 3-4,5 juta perpohon, pas untuk kebutuhan masuk playgroup.

Hidup serasa menjadi murah meriah, bahkan mendapat pesangon untuk masa depan tanpa harus stress, Tuhan dan Ibu pertiwi sudah mencukupi. Betapa bersyukurnya saya tinggal di nDeso Indonesia . benar kata orang, tanah kita memang “tanah surga”, saya menjadi saksi betapa subur bumi Indonesia ini. Terima kasih Ibu pertiwi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline