Lihat ke Halaman Asli

A. I. Prayogi

Mahasiswa Teknik Perkapalan, Universitas Indonesia

Science Fun Fact: Nasib Rakyat dan Pengusaha Akibat Feed in Tariff

Diperbarui: 1 Juli 2020   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar di atas adalah skema ilustrasi feed in tariff (dok. pribadi)

1 of 3 pages

Tahun 2020 adalah tahun di mana seharusnya kebijakan feed in tariff sudah matang digodok Pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai target 25% EBT di tahun 2025.

Apakah yang dimaksud feed in tariff?

Pada intinya, PT. PLN membayar uang kepada sebuah power plant berbasis energi baru dan terbarukan (EBT), sehingga power plant tersebut mampu mengakomodir kebutuhan listrik masyarakat. Kemudian masyarakat membayar listrik sesuai tarif dasar listrik yang ditetapkan.

Lalu kenapa pemerintah harus membuat regulasi untuk mengakomodir adanya kebijakan feed in tariff?

Menurut World Economic Situation and Prospect (WESP) United Nation 2020, kebutuhan terhadap batu bara, khususnya di Asia Timur masih cukup tinggi. Hal ini dikarenakan negara-negara di kawasan tersebut masih sangat bergantung pada penggunaan batu bara, salah satunya untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga UAP (PLTU berbahan bakar Batu Bara).

Di Indonesia sendiri, permintaan terhadap batu bara cenderung menurun seiring dengan kejadian Covid -- 19. Anehnya, ketika di seluruh dunia banyak kilang minyak ditutup untuk menstabilkan harga minyak mentah, Perusahaan-perusahaan tambang batu bara di Indonesia cenderung tidak menurunkan produksinya. Karena, tidak menutup kemungkinan bahwa setelah pandemi Covid-19 berakhir, maka permintaan batu bara akan kembali meningkat.

Secara psikologis, selama ketersediaan masih banyak, maka manusia (dalam hal ini pemerintah dan masyarakat) cenderung belum merasa khawatir dan belum mau beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) dalam waktu dekat. Ini membuat ketergantungan Indonesia terhadap batu bara semakin parah, apalagi produk batu bara di Indonesia yang sangat besar jumlahnya, sejumlah 106,845 milyar ton dan cadangan batubara sejumlah 32,263 milyar ton.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mendesak dihentikannya kebiasaan penggunaan batu bara dan memberi harga tinggi pada perusahaan penghasil emisi karbon tinggi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan pencemaran lingkungan.

Namun hingga kini pemerintah Indonesia masih belum menemukan solusi alternatif yang dapat diaplikasikan untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dengan capacity factor yang sama. Salah satu kandidat terkuat pengganti batu bara adalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang memiliki capacity factor yang tinggi.

Namun, banyaknya kontra dari masyarakat menyebabkan terhambatnya pengembangan teknologi PLTN di Indonesia. Ditambah ongkos pemeliharaan, reparasi dan pembuangan limbah nuklir yang menurut studi, jauh lebih tinggi ketimbang penerapan kebijakan tanpa energi nuklir dengan energi alternatif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline