Lihat ke Halaman Asli

Ainur Rizaldy

Mahasiswa

Sosiologi dalam Krisis Kemanusiaan dan Problematik Israel-Palestina (Hamas)

Diperbarui: 1 Juli 2021   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sosiologi merupakan cabang ilmu sosial yang mempelajari perkembangan masyarakat. Dalam ilmu sosiologi, terdapat teori perubahan sosial yang mungkin dapat dijadikan rujukan solusi permasalahan ini. Terdapat dua kemungkinan yaitu bertahan dengan kondisi yang ada dan masyarakat akan mengubah keadaan atau revolusi. Sebelumnya, faktor penyebab masyarakat berubah yaitu adanya kesadaran dari masyarakat untuk memperbaiki kekurangan yang ada, kebutuhan kehidupan manusia semakin kompleks, tuntutan harus menyesuaikan diri dengan situasi yang baru, perasaan tidak puas terhadap keadaan yang sudah ada dan sikap terbuka.

Pada tanggal 7 dan 10 Mei di Sheik Jarrah, pasukan Israel menyerang Masjid Al Aqsa di Yarusalem dengan menyemburkan gas air mata, granat dan peluru berbahan karet atau rubber-tipped bullets pada masyarakat palestina. Kekerasan terjadi selama hari-hari terakhir Ramadan. Masjid Al Aqsa adalah salah satu situs tersuci bagi umat Islam. Lebih dari 300 rakyat Palestina terluka dalam kurun waktu seminggu setelah kejadian dengan paling sedikit 25 orang termasuk 10 anak-anak meninggal dunia. Setelah serangan udara Israel kepada masyarakat Gaza, Hamas kemudian meluncurkan roket kepada Israel sebagai pembalasan. Dikabarkan akibat dari pembalasan tersebut, 3 warga Israel terbunuh dan melukai lebih dari 100. Kekerasan yang telah terjadi di seluruh Yarusalem adalah akibat dari naiknya ketegangan dan protes antara kedua belah pihak. Konflik ini sejatinya telah terjadi dari tahun ketahun. Krisis kemanusiaan dan Problematik ini terus berlanjut hingga saat ini.

Apa rencana yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi krisis kemanusiaan dan problematik Israel-Palestina (Hamas)?

Revolusi merupakan solusi yang tepat, dari kubu Palestina (Hamas) memerlukan syarat dan tahapan yang perlu di penuhi agar revolusi dapat berhasil. Pertama, terdapat perasaan tidak puas masyarakat dengan keadaan yang ada. Dari problematik yang telah menahun, sudah pasti muncul perasaan lelah dan menuntut kedamaian dari masyarakat Palestina (Hamas), banyaknya korban yang terluka termasuk anak-anak dan wanita memunculkan rasa pedih yang mendalam. Alasan ini dapat dijadikan tonggak awal terjadinya revolusi yang berhasil. Kedua, Adanya seorang atau sekelompok pemimpin yang memikirkan untuk terjadinya revolusi. Bergerak tanpa strategipun akan sia-sia, maka dibutuhkan pemimpin cerdas yang dapat dijadikan pegangan kelompok Hamas untuk menyudahi persoalan ini.

Selanjutnya, pemimpin harus mampu menampung seluruh aspirasi masyarakat supaya menjadi arah atau tujuan melakukan revolusi. Penduduk Palestina adalah heterogen yaitu tidak semuanya bersuku bangsa Arab. Ada yang bersuku bangsa Yahudi, Druze dan beberapa suku bangsa minoritas lainnya. Dari sisi agama, Islam memang menjadi mayoritas. Tetapi ada juga sebagian Arab Kristen. Maka Palestina butuh pemimpin yang mengetahui cara pendekatan agar tidak diskriminatif sehingga tidak terjadi konflik dari dalam. Kemudian, pemimpin juga harus mampu menunjukkan tujuan yang kongkret dan abstrak kepada rakyatnya yang berarti tujuan saat ini dan mendatang. Maksudnya adalah, pemimpin yang akan datang tidak hanya menghantarkan kepada kemerdekaan saja akan tetapi mampu mempertahankan kemerdekaan itu sehingga tidak menjadi sia-sia belaka. 

Pemimpin yang akan datang harus memikirkan secara matang bagaimana Palestina akan aman ketika keadaanPemimpin yang akan datang harus memikirkan secara matang bagaimana Palestina akan aman ketika keadaan menuntut untuk mandiri dan berdiri sendiri dengan semua kebutuhan kenegaraan sudah tercukupi. Terakhir, adanya momentum yang tepat revolusi. Sebagai contoh yang telah terjadi, pada saat Jepang terdesak setelah dijatuhi bom di Nagasaki dan Hirosima, masyarakat Indonesia dengan sigap melakukan proklamasi sebab terjadi kekosongan kekuasaan. Demikian juga berlaku pada krisis kemanusiaan Palestina dan hingga saat ini masih diharapkan datangnya momentum yang tepat dan menyatakan Palestina merdeka. Secara teoritikal, apabila semua unsur telah terpenuhi maka besar kemungkinan Palestina merdeka.

Perlu ditekankan bahwa kekerasan tidak pernah menjadi jawaban dan mendukung salah satu kubu bukan menjadi alasan untuk menebar kebencian terhadap suatu suku. Problematik yang dapat disebut penjajahan etnis berdarah ini murni terjadi akibat oknum serakah dan tidak berperikemanusiaan. Dengan menuntut persamaan hak rakyat Palestina (Hamas), setiap orang berhak untuk merasa aman terlepas dari agama, suku ataupun tindakan yang dilakukan oleh pemimpin mereka. Adalah naif untuk menyebut apa yang terjadi di Gaza dan Palestina sekarang sebagai "perang", karena perang ditentukan oleh adanya dua pihak yang berperang. Tidak dapat dibiarkan juga dibenarkan melihat anak-anak yatim piatu yang dibunuh dan terus bertambah. Lakukan bentuk cinta kasih dengan tindakan seperti terus menyuarakan pada media sosial untuk peduli kemanusiaan dan donasi. Semoga segera ditemukan titik terang dan problematik ini dapat berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline