Sepak bola olahraga brutal bikinan orang eropa ini hampir semua anak laki-laki pernah memainkannya, terkadang demi reputasi diri yang sarat adu gengsi dan tak jarang demi adu prestasi. Begitulah klaim para laki-laki. Tanpa terkecuali baik orang tua, anak muda, maupun laki-laki balita semua suka dengan sepak bola.
Jenis olahraga yang satu ini memang sangat populer dikalangan kaum Adam, dan permainan sepak bola ini sering sekali dimainkan oleh orang-orang kampung. Jika kita teliti dengan seksama, rata-rata di tiap kampung punya lapangan sepak bola yang unik dan berbeda dengan kampung yang lain, baik itu yang permanen maupun yang semi permanen bisa dibilang lapangan yang tak lazim.
Kalaulah tuan tiada keberatan, sedikit saja saya ceritakan. Dahulu kala, kami generasi 80-an ini bila ingin bermain sepak bola harus memutar akal
Namun seleksi alam tahun 80-an masih sangat berpihak pada dewi keadilan, dan kami, anak-anak kampung yang ingusan saat itu cukup beruntung terlahir di kampung pesisir utara pulau Jawa. Di kampung kami desa Paciran, terdapat satu lapangan dadakan, wujud lapangan dadakan ini tanpa rumput yang hijau, gambaran lapangan kami ini cuma hamparan pasir Lasak berwarna kelabu, sedikit berbatu karang, lembek dan berair asin.
Walaupun dengan fasilitas
Ukuran lapangan lasak yang lebar dan panjang ini sewaktu-waktu bisa susut ukurannya, usut punya usut ternyata disebabkan oleh adanya fenomena alam yang bernama air laut pasang dan itu membuat ukuran lapangan lasak jadi kecil.
Sabda alam yang paling menyebalkan waktu kami masih bocah saat itu ya, ketika kami asek bermain bola dan mendadak air laut pasang, padahal saat itu kami sedang berada di puncak bahagia dengan bermain sepak bola di lapangan lasak yang apesnya lapangan itu sendiri tercipta dari pasang surut air laut.
Bila air laut surut sore hari, kami bermain di lapangan lasak. Alam bawah sadar kami tergerak dengan sendirinya. Tanpa perlu ada komando atau selebaran pengumuman atau pemberitahuan lewat pesan singkat (sms), pabriknya belum dibuat. Satu-satunya indikasi kenapa kami bisa kompak datang adalah senasib sepenanggungan dalam kebersamaan bermain sepak bola. Bisa jadi jiwa kami terpanggil dari dalam.
Biasanya selepas sholat ashar kami sudah berkumpul di lapangan lasak. Seperti yang sudah saya uraikan di atas. Lapangan kami itu beralaskan pasir Lasak berwarna kelabu dan tak jarang berwarna hitam, ada beberapa batu karang kecil, teksturnya lembek dan berair. Jadi, jangan kalian bayangkan kalau kami jatuh atau salah nendang kaki kami akan baik-baik saja, tentu saja tidak! saudara-saudara.
Terkadang kaki kami terluka sampai berdarah-darah sebab kami tak pakai sepatu, kami bermain dengan kaki telanjang dan tentu saja kondisi itu lebih disukai bocah-bocah kampung macam kami, sebab dari penuturan seorang kawan, memakai sepatu saat bermain sepak bola itu sangat tidak nyaman. Dan kami semua percaya dengan bualan teman saat itu.
Batas teritorial lapangan dadakan itu sangat berharga bagi kami. Sebab hanya di lapangan lasak itu tempat kami bermain dan bersenang-senang adu tulang betis. Namun sayangnya tidak setiap sore lapangan dadakan idaman kaki bocah lelaki macam kami saat itu bisa muncul tiap hari, ketersediaan lapangan Lasak berkah faktor alam tersebut hanya ada pada musim-musim tertentu saja.