[caption id="attachment_261458" align="aligncenter" width="300" caption="Sinema Indosiar (Sumber: indosiar.com)"][/caption] Sebagai seorang pengamat media (ciyeee), saya juga menyempatkan diri untuk mengamati fenomena tayangan hiburan yang kini menjamur di televisi. Dan yaaakk, tayangan hiburan yang sekarang begitu mendominasi televisi memang berkaitan erat dengan nama sinetron, FTV, dan segala bala sejenisnya. Sinetron (sinema elektronik)atau yang juga dikenal dengan istilah opera sabun memang bukanlah satu program baru di dunia televisi Indonesia. Sebut sajaTersanjung,Dewi Fortuna,Mahligai di Atas Pasir,Noktah Merah Perkawinan, serta berbagai judul sinetron yang menjadi tayangan favorit ibu-ibu sewaktu usia saya masih kanak-kanak. Sudahlah, jangan heran bagaimana saya bisa mengetahui judul-judul sinetron itu. Sepertinya hobi ibu saya dalam menonton sinetron itulah yang menjadikan saya berbakat sebagai seorang pengamat televisi :P Beberapa waktu lalu, Indosiar sempat terkenal denganstylepengemasan tayangan hiburannya yang lain dari yang lain. Pasalnya, di saat berbagai stasiun swasta sibuk berlomba-lomba menayangkan sinetron percintaan remaja dengan latar metropolitan, stasiun televisi yang satu ini dengan bangga mempersembahkan drama-drama berlatar kerajaan masa lampau dan identik dengan makhluk-makhluk mistik seperti elang raksasa ataupun naga--tentu saja--dengan efek seadanya. Bahkan saya sempat mengamati dialog antarpemainnya yang sengaja di-dubbingentah untuk tujuan apa. Belakangan, sebuah stasiun televisi tetangga pun tampil dengan konsep sinema yang hampir sama: drama kolosal beserta makhluk-makhluk mistisnya. Di waktu yang sama, Indosiar justru mulai berbenah dan mengurangi jumlah serta frekuensi tayangan tersebut. Ramadan lalu--entah saya yang terlambat mengamati atau bagaimana--saya mendapati sesuatu yang baru dari Indosiar. Yap! Indosiar melakukan revolusi terhadap tayangan-tayangan hiburannya, meskipun dia masih memiliki satu drama kolosal andalan Kala itu, saya mengamati beberapa program sinema Ramadan yang tayang dua kali sehari. Tentu saja saya tidak selalu menonton sinema tersebut setiap hari dua kali sehari. Gini-gini, saya juga punya kegiatan lain, hehehe. Indosiar barangkali telah mampu mengambil hati pemirsa Indonesia dengan bersaing bersama stasiun televisi lain dalam menayangkan sinema religi. Namun, dari pengamatan tersebut, saya memperoleh beberapa hal yang cukup menggelitik. Saya harus tertawa mengetahui judul-judul sinema yang sempat saya amati. Misalnya,Suami Cacat yang Teraniaya,Doa Istri yang Teraniaya,Derita Anak Cacat yang Terbuang,Doa Adik yang Tertindas, dan masih banyak judul lainnya. Klise, tentang penindasan anggota keluarga. Sekilas membaca tulisan ini, beberapa orang mungkin akan beranggapan bahwa sekeluarga dalam sinema itu tertindas seluruhnya. Inilah yang kemudian saya sebut absurd. Saya juga masih ingat beberapa judul yang mencengangkan-tapi-juga-menggelikan, seperti:Aku Lupa Jadi Ibu,Jodoh yang Tertukar, ataupun Istri yang Tertukar. Astaga, logikanya gimana? Istri kok bisa tertukar itupiye? Lupa jadi ibu itu ngapain aja? Bagaimanapun, judul haruslah merepresentasikan isi cerita. Nah kalau dari segi pemilihan judul saja sudah terkesan monoton dan absurd begitu, bagaimana pula dengan ceritanya? Dalam isi cerita pun demikian. Cerita selalu dikuasai oleh tokoh antagonis yang sering kali jahatnya nggak masuk akal, berakhir dengan tokoh protagonis yang bersikeras memaafkan si antagonis, si antagonis bertaubat, dan happily ever after. Saya juga mengingat beberapa sceneyang menurut saya sangatlah absurd. Misalnya, dalam satu sinema, diceritakan ada seorang anak yang mencuri perhiasan di pusat perbelanjaan karena kurang diperhatikan orang tuanya. Di saat si anak berlari-lari tertawa bersama teman-temannya, tiba-tiba saja si anak secara tak sengaja menabrak gerobak, pingsan, lantas dilarikan ke rumah sakit. Dan ketika si anak terbaring lemah di rumah sakit selama berhari-hari, si ibu merasa bersalah, meminta maaf, dan keluarlah dialog ini : "Kamu harus banyak makan, biar cepat sembuh."Yaelah, cuma ketabrak gerobak dan benjol di dahi aja, lho. Kenapa si penulis naskah tidak membuat adegan yang lebih logis? Seperti ketabrak buswayyang masuk ke halaman malatau gimana lah. Eh, salah, kalau ini malah makin absurd. :D Entahlah, saya juga tidak mengerti kenapa tayangan semacam ini terus bertahan meski Ramadan telah beranjak. Iklan yang muncul di sela-sela tayangan pun terbilang buanyaaakkk. Bagaimanapun, masyarakat kita tidak bodoh lagi. Seiring perkembangan zaman, masyarakat kita semakin sulit dibodohi. Selalu muncul polemik di dalam pikiran pemirsa setelah menonton tayangan serupa. Masyarakat akan memikirkan rasionalitas, probabilitas, serta berbagai hal yang kurang singkron terhadap tayangan tersebut. Barangkali benar kata dosen saya yang menukil hasil penelitian seorang ahli, bahwa masyarakat khususnya ibu-ibu gemar menonton sinetron karena ingin keluar dari realita. :D Saya lelah melihat tayangan sinema televisi yang begitu-begitu saja. FTV-FTV remaja pun begitu. Selalu berakhir dengan jadian, pelukan, gendong-gendongan, kejar-kejaran di pantai, dan adegan-adegan klise lainnya. Backsongyang digunakan juga itu-itu saja. Kalau tidak percaya, silakan sesekali menyempatkan diri menonton beberapa tayangan sinema di TV. Saya tidak suka menonton sinetron, FTV, dan tayangan-tayangan picisan sejenisnya. Saya suka melihat, karena saya ingin mengamati fenomena yang terjadi di sekitar kita. Oleh karena pengamatan itu, saya berpikir suatu saat nanti bisa memperbaiki kualitas FTV di Indonesia :P Mau sampai kapan tayangan hiburan televisi kita membodohi masyarakat tanah air? ;)
Salam,
Ainun Nadhifah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H