Jakarta,19 Oktober 2024 - Apakah uang rokok itu benar-benar bentuk apresiasi, atau hanya cara halus untuk membeli keadilan? Di negeri Pancasila ini, terus terjadi bahkan melonjak fenomena pemberian "uang rokok" yang sering dianggap remeh namun berbahaya. Banyak yang mengira hal itu hanya tanda terima kasih kecil, padahal pada kenyataannya merusak karena melanggar prinsip dasar negara. Seperti api yang bersinar dalam gelap, "uang rokok" secara diam-diam merusak jiwa nasional dan moral masyarakat. Fenomena yang terlihat sepele itu bukan hanya menandakan lemahnya penegakan hukum, tetapi juga ketidakpedulian kita akan nilai-nilai luhur dasar bangsa. Parahnya, di balik senyum penerima "uang rokok" tersembunyi ancaman besar bagi masa depan bangsa dan negara.
Dewasa ini praktik pemberian 'uang rokok' sudah menjadi tradisi yang lazim di masyarakat. Menurut KBBI, uang rokok adalah kompensasi finansial yang diberikan sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan. Meski demikian, hal ini jelas melanggar pasal UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bagaimana jika praktik ini diwajibkan? Ini akan menciptakan ketimpangan yang besar di tengah masyarakat. Situasi ini dapat memengaruhi kepercayaan publik pada lembaga-lembaga pemerintah. Lebih buruk lagi, praktik ini dapat menghambat pembangunan dan kemajuan bersama bangsa.
Budaya 'Uang Rokok': Antara Tradisi Apresiasi dan Praktik Suap yang Melanggar Hukum
Secara budaya, "uang rokok" sebagai suap telah memiliki berbagai pandangan. Di satu sisi, praktik ini sering dianggap sebagai bagian dari kebiasaan memberikan "sedekah" atau "tambahan" untuk mempermudah urusan atau sebagai bentuk apresiasi. Namun, di sisi lain praktik ini juga kerap dikritik karena berhubungan dengan korupsi dan penyimpangan kekuasaan. Dalam konteks sosial, "uang rokok" sebagai suap dapat dianggap sebagai bentuk kolusi yang melibatkan berbagai pihak, dari pejabat pemerintah hingga individu di masyarakat. Perebutan kekuasaan dan sumber daya yang terjadi di berbagai tingkat sering memunculkan praktik-praktik semacam ini untuk memperoleh keuntungan pribadi.Dari perspektif hukum dan etika, "uang rokok" yang disalurkan sebagai imbalan curang merupakan praktik yang melanggar hukum dan tidak bermoral.
Praktik Korupsi di Penjara: Eks-Tahanan KPK Diminta Setor ‘Uang Rokok’ Rp 300 Ribu per Hari, Normalisasi Suap Picu Kekhawatiran
Sesuai berita baru-baru ini mengungkapkan selain setoran bulanan, eks-tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) diminta membayar ‘uang rokok’ sebesar Rp 300 ribu per hari. Praktik ini menunjukkan bagaimana korupsi kecil telah menjadi bagian dari budaya di dalam penjara, di mana uang atau barang diberikan sebagai bentuk suap untuk mendapatkan layanan atau kemudahan tertentu. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang erosi integritas dan normalisasi korupsi di berbagai institusi negara.
Dari sini saja sudah terlihat bahkan orang awam pun bisa menilai bagaimana praktik korupsi ini sudah tertanam dalam pribadi kebanyakan masyarakat Indonesia.
1. Praktik Korupsi Kecil: eks-tahanan KPK diminta membayar "uang rokok" sebesar Rp 300 ribu per hari, selain setoran bulanan. Ini adalah contoh korupsi kecil, di mana uang diberikan sebagai suap untuk mendapatkan layanan atau kemudahan di penjara.
2. Implikasi pada Integritas Bangsa: praktik ini menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi bagian dari budaya institusional, menyebabkan erosi integritas dan etika publik. Hal ini merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara.
3. Bumerang Integritas: praktik "uang rokok" sebagai suap menunjukkan bagaimana korupsi kecil dapat menjadi bumerang yang merusak integritas bangsa. Pejabat penjara yang terlibat dalam korupsi mengirimkan pesan salah kepada masyarakat bahwa korupsi adalah cara yang diterima untuk mencapai tujuan.