Lihat ke Halaman Asli

Aini Shalihah

Peneliti Hukum/Pegiat Hukum Tata Negara

Adu Kuat RUU Kesehatan dan RUU Perampasan Aset

Diperbarui: 13 Juli 2023   00:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Gedung Parlemen

Tok! Pemerintah mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU pada selasa tanggal 11 Juli 2023. Dalam Rapat paripurna dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI. Dalam suasana rapat tersebut, saat pimpinan DPR mengesahkan RUU Kesehatan mendapat penolakan dari beberapa fraksi seperti Demokrat dan PKS. Namun DPR tetap mengesahkan RUU tersebut menjadi UU. Lalu, apa untungnya RUU Kesehatan ini kepada masyarakat? benarkah RUU tersebut disahkan untuk kepentingan penguasa pusat dan daerah sehingga mendapat pro kontra dari kalangan masyarakat?.Terlepas dari persoalan RUU Kesehatan, seperti yang diketahui bahwa harapan sebagian besar masyarakat selama ini bisa segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Dan hal itu sudah diwakili bapak Menkopolhukam pada saat musyawarah bersama dengan Komisi III DPR maret lalu. Namun, hal tersebut sepertinya masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Mengapa RUU Perampasan Aset ini perlu segera disahkan menjadi UU?. Pertama, maraknya kasus korupsi di Indonesia terus saja membengkak khususnya di kalangan pejabat pemerintah sehingga kemudian dengan adanya UU Perampasan Aset menjadi suatu kendali untuk meminimalisir hal tersebut. Kedua, kekayaan-kekayaan yang dimiliki pejabat pemerintah wajib lapor ke LHKPN sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik tanpa terkecuali karena takutnya ada suatu indikasi pemalsuan data yang kemudian aset-aset yang dimiliki pejabat pemerintah tidak sesuai dengan LHKPN. RUU Perampasan Aset ini sangat penting dan harus menjadi prioritas utama dalam proglenas tahun ini. Melihat kasus-kasus korupsi atau penyelewengan di Indonesia saat ini terus saja terjadi khususnya dikalangan pejabat pemerintah. Masyarakat sangat berharap RUU Perampasan Aset ini segera disahkan menjadi UU. Tetapi, harapan masyarakat masih amat jauh untuk hal itu.

Seperti yang telah kita lihat, bahwa pada saat bapak Menkopolhukam meminta komisi III DPR untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset menjadi UU namun tanggapan Ketua Komisi III DPR malah mengejutkan publik. Beliau menyampaikan bahwa RUU Perampasan Aset ini bisa saja disahkan asal ada instruksi pimpinan karena semua anggota parlemen ini punya tuan masing-masing. Jika tidak ada perintah, jadi tidak bisa asal mengesahkan karena semua ada prosedurnya.

Pernyataan yang disampaikan Ketua Komisi III DPR sontak membuat publik kaget serta kecewa, berarti selama ini mereka bertugas bukan ingin menampung aspirasi rakyat seperti janji awal pada saat nyalon yang telah diketahui bersama bahwa tugas dari seorang anggota legislatif yaitu mewakili ataupun menampung suara-suara rakyat dalam membentuk dan menentukan suatu kebijakan hukum. Sehingga nilai-nilai demokrasi yang diharapkan bersama bisa terlaksana. Tetapi faktanya, mereka bekerja untuk tuannya. 

Tidak ada angin dan tidak ada hujan, secara gamblang pemerintah malah mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU selasa kemarin. Hal ini tentu mengejutkan publik, khusunya tenaga kerja kesehatan. Memang, tujuan RUU Kesehatan ini juga dianggap perlu untuk mentranformasi bidang kesehatan. Namun, perlu kita ketahui masih ada beberapa catatan yang perlu dikroscek kembali khususnya di bidang anggaran minimal pelayanan kesehatan. Dalam pasal 171 ayat 1 dan 2 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik. Sedangkan dalam UU Omnibus Kesehatan yang disahkan kemarin pasal tersebut dihapus/ditiadakan. Padahal pasal tersebut sangat penting dan menjadi kewajiban negara serta pemenuhan kewajiban itu dibuktikan dengan adanya alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan. Mengutip dari hasil rilis terbaru dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Kesehatan menyebutkan bahwa pihak yang paling dirugikan dari UU Omnibus Kesehatan adalah kelompok miskin, penyandang disabilitas, kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak, dan kelompok masyarakat di daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar).
Lebih lanjut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Kesehatan menegaskan bahwa alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan merupakan hasil reformasi yang sudah lama diperjuangkan masyarakat namun kini begitu mudahnya dihapus begitu saja. Dan hal ini dinilai sangat bertentangan dengan tujuan dibuatnya RUU Kesehatan.
Hemat penulis, nampaknya pemerintah saat ini membuka ruang kepada publik untuk terus bersuara. Dengan pengesahan RUU Kesehatan menjadi bukti bahwa aspirasi masyarakat perlu diperhatikan kembali. Usahakan apa yang disuarakan masyarakat, minta tolong jadikan bahan pertimbangan utama. Dalam negara demokrasi, rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi.
Sebagai catatan akhir, salah satu bentuk regrecy democracy yaitu minimnya aspirasi masyarakat dalam pembentukan dan penentuan kebijakan sehingga kemudian menghasilkan produk-produk hukum yang tidak sejalan. 

Seperti yang telah termaktub dalam tuntutan dan amanah reformasi, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Dengan selalu mengedepankan aspirasi rakyat menjadi hal utama dalam penbentukan dan penentuan suatu kebijakan kedepan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline