Era 5.0 mulai terbentuk dan mendunia, menyebar hingga ke seluruh bagian dunia. Ditandai dengan budaya baru berupa manusia hidup berdampingan dengan teknologi, hidup di era modern menimbulkan kebiasaan terhadap kemudahan yang dibawa oleh teknologi. Kerja cerdas dibanding kerja keras menjadi standarisasi normal yang diterapkan oleh generasi penerus bangsa saat ini, atau akrab disebut dengan Gen-Z.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data statistik yang mengungkapkan komposisi penduduk Indonesia berdasarkan kelompok umur. Data ini merupakan hasil rilis dari Sensus Penduduk 2020. Dalam data yang dirilis tersebut, Generasi Z yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 mendominasi dengan jumlah sekitar 74,93 juta jiwa, atau 27,94% populasi. Generasi ini masih berada dalam usia muda hingga remaja awal.
Ketika kita berbicara tentang Generasi Z, seringkali kita mendengar istilah "generasi instan" digunakan untuk menggambarkan karakteristik utama mereka. Generasi Z adalah kelompok individu yang tumbuh di tengah kemajuan teknologi yang pesat. Mereka telah terbiasa dengan dunia yang penuh dengan perangkat digital, akses seketika ke informasi, hiburan, dan komunikasi yang cepat.
Mereka hidup berdampingan dengan teknologi, menyaksikan perkembangan internet hingga di era 5G saat ini. Generasi Z menjadi pengguna aktif media sosial, sehari-hari menghabiskan waktu di platform seperti Instagram, TikTok, X, dan lain sebagainya, menyebabkan gen-Z memiliki kemampuan teknologi yang mahir dibanding generasi-generasi sebelumnya.
Hal ini membuka fakta baru bahwa Gen-Z yang lebih terdampak pada oase berupa kemudahan yang ditawarkan teknologi, dikarenakan mereka cenderung lebih terbuka dalam menerima perubahan. Namun, hal tersebut membawa dampak buruk terhadap karakteristik generasi yang nantinya akan memimpin Indonesia di masa depan ini. Generasi Z lahir menjadi generasi yang menginginkan segala sesuatu dengan cepat dan ringkas, tanpa menghargai proses.
Perkembangan TIK Memegang Peran Penting
Namun, ada beberapa faktor yang mendorong terbentuknya fenomena "generasi instan" di kalangan Gen-Z. Pertama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kemajuan teknologi memungkinkan mereka bekerja dengan cepat tanpa banyak usaha. Hal ini menciptakan pemikiran bahwa segala sesuatu harus terjadi dengan cepat, seolah-olah semua orang harus berlari dengan kecepatan tinggi.
Kedua, media sosial mempengaruhi cara Gen-Z berinteraksi dengan dunia luar. Media sosial menampilkan sisi "cerah" kehidupan setiap individu, menyebabkan Gen-Z sering mengalami fenomena Fear of Missing Out (FOMO) untuk ikut "viral." Generasi ini cenderung haus validasi dan perhatian dari publik melalui like, share, dan follow. Karena itu, mereka merasa tertekan untuk terus menghasilkan konten yang menarik perhatian publik secara instan, meskipun kadang harus mengambil tindakan yang bodoh.
Ketiga, kebiasaan menonton konten berdurasi pendek juga berperan dalam mendorong keinginan hasil instan pada Gen-Z. Mereka terbiasa menonton video singkat yang dapat dipahami hanya dalam beberapa detik. Hal ini mengurangi kemampuan mereka untuk fokus pada hal-hal yang memerlukan lebih banyak konsentrasi, seperti membaca buku.
Dampak Psikologis yang Dihasilkan
Bagaikan kecambah yang tumbuh dengan cepat tetapi mudah patah, generasi Z terbentuk dengan stigma yang disebut generasi instan dengan mental yang lemah. Bekerja dengan cepat dengan hasil besar tanpa perlu bekerja keras, generasi Z cenderung menghalalkan segala cara agar dapat mencapai keberhasilan secara cepat. Kebiasaan inilah yang menyebabkan kebanyakan generasi Z kerap mudah tertekan dengan desakan sosial.
Tekanan untuk menghasilkan sesuatu dengan instan yang terus mereka hadapi dapat memiliki dampak psikologis yang signifikan. Generasi Z cenderung sering mengalami kecemasan, depresi ringan hingga berat, dan rasa tidak bahagia jika harapan mereka tidak terpenuhi. Mereka sering merasa tertekan untuk mencapai keberhasilan secepat mungkin, tanpa menyadari bahwa hal tersebut dapat menghasilkan stres berlebih.
Selain itu, ketergantungan pada media sosial dan validasi online juga dapat merusak harga diri mereka. Seringkali ketika Gen-Z tidak mendapatkan cukup like atau komentar positif di platform media sosial, mereka mungkin merasa tidak mencapai keberhasilan. Ini dapat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap diri sendiri.