Lihat ke Halaman Asli

Ai Maryati Solihah

Setiap diri kita memiliki potensi yang melebihi ekspektasi diri, maka kembangkanlah sesuai Tuhan memberimu fitrah tersebut

Kekerasan terhadap Anak dan Kompeksitasnya

Diperbarui: 30 Desember 2021   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

KEKERASAN TERHADAP ANAK DAN KOMPLEKSITASNYA (1)

Dalam minggu ini dua peristiwa mengenaskan terjadi, yakni diduga seorang anak usia 14 tahun dipacari, kemudian diperkosa dan kemudian dijual secara online untuk dieksploitasi secara seksual, peristiwa terjadi di Bandung. Kedua peristiwa terjadi di sebuah apartemen di Jakarta Selatan, seorang anak usia kls 6 SD dipacari, diperkosa dan kemudian dijual untuk tujuan seksual. Melihat sisi usia anak-anak menjadi korban kekerasan seksual masih sangat belia,  baru masuk usia puberitas. 

Bukan hanya situasi  agresi, penyerangan, penculikan, penyekapan dan pemanfaatan anak, situasi kekerasn Seksual (KS) diawali oleh perencanaan pelaku melalui relasi kuasa, apakah sebagai teman baik, dan pacar yang melakukan tingkah polah sistematis, melakukan pendekatan, perhatian dan kemungkinan kasih dan sayang karena faktor relasi yang dekat. Sekali lagi kompleksitas atas perilaku kekerasan seksual terhadap anak melalui pendekatan grooming, bujuk rayu, iming-iming, menyenangkan, membuat korban tanpa berfikir panjang turut mengikuti dan tunduk patuh atas kehendak pelaku.

Situasi ini yang terkadang menyamarkan status kasus ini yang disebut dengan kesepakatan dua belah pihak untuk melakukan aktivitas seksual. Terkadang hukum luput dan mendengar setiap upaya meminimalisir penegakkan terhadap korban yang mendapatkan banyak sekali tindakan kekerasan seks dan unsur pidana lainnya. Hal ini sungguh memprihatinkan sebab memutar balikan fakta keadilan pada korban yang seharusnya dilhat pada usia anak dengan tubuh kembang yang belum sepenuhnya matang belum mampu membangun keputusan mental dan kemandiriannya. Sehingga seluruh perilaku yang ia terima seyogyanya mendapatkan perlindungan, bukan sebaliknya justru menjadi ruang kerentanan untuk dilakukan praktik kekerasan, pidana dan tindakan-tindakan yang merugikan terhadap korban bahkan pembelaan pelaku dalam menghakimi korban yang dianggap suka sama suka.

Untuk itu, kepolisian harus tuntas menempatkan ksus-kasus diatas dalam kerangka kejahatan yang dilakukan, yakni perlindungan anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang sudah menempatkan anak sebagai objek eksploitasi seksual, bukan hanya sebagai objek persetubuhan. pekerjaan ini panjang namun harus terus didorong oleh perspektif dan kesadaran bahwa kompleksitas kejahatan terhadap anak harus segera diakhiri dan butuh penyelesaian yang komprehenshif tanpa tangan-tangan mafia yang sangat merugikan korban.

Di sisi lain, problematika ini harus menempatkan anak korban sebagai korban yang terlindungi dari sisi pemulihan rehabsos dan pendampingan hukum. Sebab situasi perdagangan orang membuat seseorang belum menjamin tingkat keamanan dan perlindungan, sebab kondisi pelaku dan jaringan kerja terhadap anak yang dijadikan korban ini belum sepenuhnya diamankan. Biasanya mereka bergerak mencari jalan damai dengan iming-iming dan melumpuhkan peran keluarga untuk mencabut laporan. Disinilah Peran KPAI dan LPSK memberikan monitoring dan langkah perlindungan saksi dan korban secara bersamaan dengan proses hukum yang sedang berjalan.

(mengapa ruang - ruang emosi dan kedekatan orang tua mudah sekali terganti oleh para begundal yang berpura-pura menjadi pacar anak korban?)

bersambung-2-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline