Lihat ke Halaman Asli

Aiman

Mahasiswa

Kerja Sama antara Dua Pihak atau Lebih yang Masing-Masing Hanya Memberikan Kontribusi Kerja, Tanpa Kontribusi Modal

Diperbarui: 1 Maret 2023   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

            Dalam bab muamalah, dikenal, istilah syirkah sebagai bagian dari transaksi jual beli dan kerja sama. Hukum syirkah dalam Islam adalah mubah,sebagaimana disebutkan dalam hadist riwayat Abu Daud berikut yang artinya: "Di antara dua orang yang berserikat ada allah subhanahu wa ta'ala sebagai pihak ketiga, selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya." Secara bahasa syirkah memiliki arti yang sama dengan al-ikhtilah, yaitu perkongsian, persekutuan, profit sharing, atau kerja sama. Sedangkan secara istilah, syirkah adalah izin penggunaan harta milik dua orang secara bersama-sama, tetapi masing-masing memiliki hak penggunaannya.

            Syirkah dibagi menjadi lima jenis, salah satunya adalah syirkah abdan. Manusia adalah makhluk sosial yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya ia selalu membutuhkan pertolongan orang lain, sehingga manusia dikenal dengan makhluk zoon politicon. Hal ini disebabkan kepentingan dan kebutuhan manusia masing- masing pihak berbeda.

               Salah satu bentuk kerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah melalui perkongsian, yaitu melalui perkongsian manusia yang mempunyai kepentingan bersama yang secara bersamaan memperjuangkan suatu tujuan tertentu, dan dalam hubungan ini mereka mendirikan serikat usaha.

               Kemudian perkongsian dalam istilah fiqh muamalah dikenal dengan syirkah. Syirkah berarti ikhtilath (percampuran). Imam al-Syafi'I dan pengikutnya merumuskan syirkah manurut syara' adalah menetapkan adanya hak atas sesuatu diantara dua orang atau lebih terhadap modal.

               Syirkah sering juga disebut dengan kemitraan. Kemitraan atau kerja sama terdiri atas persetujuan baik secara lisan, prilaku maupun secara tertulis, serta untuk akte hubungan yang kuat dilakukan diatas segel. Di dalam konsep hukum secara umum, perjanjian kemitraan itu bisa dilakukan secara lisan, tetapi sebaiknya dilakukan secara tertulis, karena hal tersebut menyangkut kekuatan hukumnya agar semua aspek hubungan kemitraan di antara mereka bisa terjamin, sehingga dapat menghapuskan ketidak pastian, kesalapahaman dan pertikaian.

              Dalam perkembangan dunia modern, berbagai jenis akad muamalah senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tingkat kemajuan kebudayaan manusia selalu menginginkan agar kebutuhan hidupnya selalu terpenuhi secara memuaskan. Karena manusia sepanjang hidupnya tidak henti-hentinya berusaha menghadapi ekonomi, sehingga semakin berkembang kebudayaan manusia semakin banyak jenis muamalah yang muncul. Di antaranya persoalan perjanjian bagi hasil yang artinya kerja sama antara pemilik modal dengan pengusaha pemilik keahlian atau ketrampilan dalam pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha.

               Melalui bagi hasil (syirkah) kedua belah pihak yang bermitra tidak akan mendapatkan bunga, melainkan dengan cara bagi hasil atau dikenal dengan Provit and Loss Sharing dari poryek ekonomi yang disepakati bersama . Sebagai contoh kongkrit yang sangat sering dilaksanakan tengah masyarakat adalah kerja sama antara pemilik lahan (tanah) dengan pihak developer perumahan yang pada awalnya membentuk kerjasama dan menghasilkan kesepakatan dengan cara bagi hasil.

            

Menurut Imam Abu Hanifah, hukumnya boleh, karena tujuan utama perserikatan ini adalah untuk mencari keuntungan dengan modal kerja bersama. Hal ini termaktub dalam kitab beliau sendiri, yaitu kitab Fatawa Al-Hindiyah, beliau paparkan dalam kitab AlA'dzam Abi Hanifah dengan jelas mengungkapkan boleh, karena dua orang yang bersyirkah itu saling memberi manfaat melalui pekerjaannya. Demikian juga beliau paparkan dalam kitab Al-Ikhtiyar Li Ta’lily Al-Mukhtar, bahwa boleh bersyirkah dalam pekerjaan. Sejalan dengan itu, dalam kitab Raudhatu Al-Thalibin, Imam Abi Zakariya Yahya ibn Syarif AlNawawy Al-Damsyiqy mengutarakan pendapat Imam Abu Hanifah tentang Syirkah abdan yaitu jaiz atau boleh. Hal ini merujuk kaedah ushul yaitu setiap pekerjaan yang memiliki jaminan atau tanggungan boleh bersyirkah seperti seorang penjahit dan designer sedangkan pekerjaan yang tidak memiliki tanggungan tidak sah bersyikah. Hal yang serupa juga termaktub dalam kitab Al-Bab fi Syarh Al-Kitab, Syeikh Abdul Gany Al-Ganimy menyatakan bahwa syirkah abdan ( juga dikenal syirkah al-shana'i ) itu boleh dilaksanakan. Karena ada bagi hasil antara kedua orang yang bersyirkah dari hasil usaha mereka.

             Menurut Imam Abu Hanifah, hukumnya boleh, karena tujuan utama perserikatan ini adalah untuk mencari keuntungan dengan modal kerja bersama. Hal ini termaktub dalam kitab beliau sendiri, yaitu kitab Fatawa Al-Hindiyah, beliau paparkan dalam kitab AlA'dzam Abi Hanifah dengan jelas mengungkapkan boleh, karena dua orang yang bersyirkah itu saling memberi manfaat melalui pekerjaannya.

             Demikian juga beliau paparkan dalam kitab Al-Ikhtiyar Li Ta’lily Al-Mukhtar, bahwa boleh bersyirkah dalam pekerjaan.Sejalan dengan itu, dalam kitab Raudhatu Al-Thalibin, Imam Abi Zakariya Yahya ibn Syarif AlNawawy Al-Damsyiqy mengutarakan pendapat Imam Abu Hanifah tentang Syirkah abdan yaitu jaiz atau boleh. Hal ini merujuk kaedah ushul yaitu setiap pekerjaan yang memiliki jaminan atau tanggungan boleh bersyirkah seperti seorang penjahit dan designer sedangkan pekerjaan yang tidak memiliki tanggungan tidak sah bersyikah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline