Lihat ke Halaman Asli

NIA

Finding place for ...

Uro dan Matahari Terbit

Diperbarui: 12 Juni 2022   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source : Child of Nature/https://id.pinterest.com/pin/2111131067723067/

Di suatu sore, ada seekor gajah yang berjalan sendirian bernama Uro. Badannya melebihi definisi besar, punggungnya kekar, berwarna abu-abu gelap. Setiap kali langkah kaki tercipta, perut bergelambirnya akan bergetar dan ekornya turut bergoyang. Uro bergerak pelan sembari memikul tas berbahan jerami yang berisi bekal makanan.

Puncak gunung tertinggi. Itulah tujuan Uro. Tempatnya berada sangat jauh dari pelupuk mata, puluhan kilometer dari hutan tempat tinggalnya. Jalur yang ditempuh pun tergolong sulit. Ada banyak tanjakan dan batu terjal, juga lubang jebakan buatan manusia. Jika kurang fokus atau tidak berhati-hati, para hewan bisa dengan mudah masuk ke dalam perangkap tersebut. Sungguh, banyak rintangan yang perlu dilalui untuk mencapai puncak tertinggi. Dan Uro ingin menempuhnya, berusaha mencapai puncak gunung tertinggi demi menyaksikan matahari terbit.

Sudah banyak hewan yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi dengan beragam cara. Mulai dari hewan kecil seperti lebah dan kupu-kupu hingga rusa dan raja hutan. Mereka mengatakan hal yang sama, bahwa melihat matahari pagi di puncak tertinggi terasa sangat berbeda. Udara terasa hangat dan menyenangkan. Matahari nampak lebih indah berkali-kali lipat. Keindahan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kesaksian tersebut berhasil menggugah keingintahuan Uro, membuatnya memulai perjalanan panjang yang melelahkan.

“Kamu mau pergi ke mana?” tanya si Tupai yang berpapasan dengan Uro di tengah perjalanannya.

“Ke puncak gunung tertinggi. Aku ingin melihat matahari terbit dari sana,” jawab Uro. Si Tupai tertawa hingga berguling-guling di tanah. Tawa yang menggema dan membangunkan sekawanan kelinci yang sedang tidur siang.

“Lebih baik kau urungkan saja niatmu itu, Uro. Kamu tidak akan mungkin bisa pergi ke sana!”

“Kenapa begitu?”

Si Tupai terkekeh lagi. Dia berderham beberapa kali lalu menunjuk Uro sembari memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Sadar dirilah, Uro. Kamu itu gemuk. Sebelum tiba di puncak gunung tertinggi, kuyakin kamu sudah kelelahan lebih dulu. Pulang saja ke rumah, sebelum terlambat dan menyesal nanti.”

Uro tersenyum getir mendengar respons si Tupai. Ia tidak menanggapi kalimat berbumbu ledekan tersebut dan memilih beranjak untuk melanjutkan perjalanan.

Langit mulai gelap berhias bintang gemerlap. Siapa pun yang melihatnya, pasti akan terhibur atas keelokannya, tetapi tidak dengan Uro. Saat ini, tubuhnya pegal luar biasa, dipenuhi oleh peluh yang tak kunjung berhenti meski dinginnya malam telah datang. Keempat kakinya mengalami kram otot berulang kali. Makhluk berbelalai itu menghentikan langkah, duduk bersandar di bawah pohon besar. Ia membuka tas jerami, mengambil bekal makanan untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Di tengah hutan sunyi yang kian sepi, Uro mulai meragukan keputusannya untuk melihat matahari terbit. Tekadnya menjadi dangkal akibat meyakini kebenaran perkatan si Tupai. Sepasang manik bulatnya mulai berair dan meneteskan air mata. Perasaannya dilingkupi penyesalan karena telah melakukan hal yang sia-sia. Sepertinya, Uro harus pulang ke rumah setelah menghabiskan bekal makanan, mengubur dalam-dalam impian sederhana yang ternyata sulit digapai dengan kondisi tubuhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline