“Sudah siap mendengarkan sebuah dongeng?” Pria berkacamata bernama Ario Adiawan—tetangga memanggilnya sebagai Pak Rio, duduk di tepi tempat tidur dan memperhatikan kedua anaknya.
Ciara—gadis berumur lima tahun, tersenyum menggemaskan seraya naik ke atas tempat tidur dan masuk ke dalam selimut, berbaring di dekat ayahnya. Sedangkan Qiana, si sulung yang beranjak remaja memilih duduk bersila di kasur adiknya.
“Cerita tentang apa, Pa?” Ciara bertanya penuh antusias.
“Kisah seekor ikan yang jatuh cinta pada Tuan Puteri cantik jelita.”
“Ciara yang jadi Puteri ya, Pa. Kakak yang jadi ikan.” Qiana pun mendengus pelan sebagai bentuk penerimaan terhadap peran ikan yang disematkan adiknya, memancing ayahnya untuk tertawa dan memberikan usapan lembut di kepala Qiana. Setelah itu, Pak Rio mulai bercerita.
“Kisah ini bertempat di sebuah desa pesisir. Desa itu terkenal dengan keindahan laut dan keanekaragaman biota perairan. Penduduknya hidup rukun dan makmur dengan hasil tangkapan ikan yang melimpah. Masakan yang ada di desa itu pun terkenal lezat.” Senyum Pak Rio mengembang melihat ekspresi dua putrinya. Dia bisa menebak dengan mudah jika saat ini Qiana dan Ciara sedang membayangkan berbagai menu seafood yang menggugah selera.
“Oh, ada satu lagi nih yang membuat desa itu dikenal banyak orang. Ada yang bisa menebak?”
Ciara menggeleng cepat.
Qiana berpikir. “Ikan yang jatuh cinta pada tuan puteri?”
“Seratus buat kakak!”
Qiana tersenyum senang. Ciara bertepuk tangan. Sang ayah pun melanjutkan cerita.