Lihat ke Halaman Asli

NIA

Finding place for ...

Cerpen | Kisah Seorang Pelukis

Diperbarui: 28 November 2020   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar matahari menembus bingkai kaca besar berbentuk persegi, terpantul tak terarah ke segala penjuru, menerangi ruangan berukuran 15 x 10 meter. Empat sisinya dipenuhi pajangan lukisan. Beberapa lukisan tertata dengan rapi di lantai bersama kumpulan kaleng cat kosong. Sementara pemiliknya sedang fokus menyelesaikan satu karya baru. Tangan kurusnya sangat terampil memadukan warna-warni cat dan menggoreskannya pada kanvas. Dare merampungkan satu gambar lagi. Lelaki yang nyaman mengenakan kaos oblong dan jeans itu menatap pemandangan danau berwarna hijau di hadapannya. Sorot matanya meredup dalam keheningan hingga suara kaleng berjatuhan memecah lamunannya.

"Berapa kali saya bilang, jangan beri tanda kehadiranmu dengan suara itu, " ucap Dare.

"Dan seperti yang selalu saya katakan, saya tidak menemukan cara lain untuk memberitahu bahwa saya datang, " jawab Andika sambil bersandar di pinggiran pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Senyuman terbentuk ketika kedua netranya menangkap lukisan yang baru jadi. "Tempat itu lagi." Suaranya bernada bosan.

"Saya hanya ingin melukis kenangan saya." Dare bangkit dari kursi kayu dan berjalan ke arah tamunya, bukan untuk menyapa Andika tapi untuk membereskan kaleng-kaleng yang berserakan.

"Kenangan yang selalu enggan untuk diceritakan." Andika menebar pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati satu per satu lukisan bertema danau yang menggantung di dinding. Perbedaannya hanya terletak pada dominasi warna, ukuran, latar waktu. "Saya sungguh penasaran, seindah apa kenangan di danau itu sehingga teman saya tidak bosan untuk melukisnya walau telah ratusan kali." Pria berwajah oriental itu menggumam dan melirik Dare.

"Kamu bilang akan mengenalkan tunanganmu hari ini, di mana dia?" balas Dare dengan pertanyaan. Andika menghembuskan napas dalam, menyadari temannya kembali mengalihkan pembicaraan.

"Dia mendadak ada urusan," jawab Andika. Dare mengangguk.

"Kita lanjutkan ngobrolnya di bawah?"

Andika menggeleng.

"Saya hanya mampir untuk memastikan teman saya baik-baik saja. Berharap hari ini saya melihat lukisan pegunungan, mungkin." Pria itu terkekeh, lalu menyodorkan sebuah kartu nama.

Dare membaca kartu nama tersebut. Sebuah restoran klasik di pusat kota. "Hari Minggu jam 8 malam." Ia mengangguk mendengar penjelasan Andika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline