Lakum Dinukum Waliya Dn....Ayat terakhir Surah Alkafirun yang selalu dijadikan dasar untuk bertoleransi dan menghargai kepercayaan atau keyakinan agama lain, Namun ada satu hal yang begitu aneh menurutku bagi orang orang yang menyebut dirinya sebagai Toleran atau mungkin mengklaim dirinya sebagi Pejuang Toleransi, tetapi disisi lain abai dan bahkan enggan untuk bertoleransi terhadap Perbedaan yang terjadi di dalam Internal Agama Islam, yah, sebuah standar ganda, Dualitas prinsip.
Melihat Kondisi keberagaman Umat Islam di Indonesia, maka perlu adanya tingkat kesadaran untuk bertoleransi terhadap keragaman dan perbedaan itu, Intoleransi terhadap Syiah yang dilakukan sejumlah muslim sunni, selalu dapat kita temukan,kita dapat melihat contoh ini pada pernyataan seorang pejabat muslim yang melontarkan kata kata sesat terhadap Syi'ah, belum lagi disejumlah tempat terjadi beberapa penolakan terhadap Syi'ah, yang bahkan mereka mendapatkan persekusi, disamping itu juga bukan hanya Syi'ah yang mendapat perilaku Intoleran, Wahabi juga yang kita kenal sebagai Islam konservatif selalu di pojokkan dan menjadi tuduhan akar perbuatan dan faham Terorisme, disejumlah daerah meskipun mereka cukup banyak namun tidak menjadi Mayoritas, mereka juga mendapatkan perilaku yang tidak baik, Terkadang akses mereka untuk mendirikan Masjid ataupun Lembaga Pendidikan, selalu mendapat Penolakan, Bukan Hanya Syi'ah dan Wahabi saja, Ahmadiyah dan Aliran Aliran Islam yang lain juga mendapat hal yang sama yaitu, Intoleransi
Kita memang tidak dapat menafikan tindakan yang Intoleransi seperti itu terjadi karena adanya motif untuk menegakkan Islam yang benar, namun masalahnya yang melakukan itu adalah orang orang awam yang tidak mendedikasikan dirinya untuk mendalami agama Islam dan hanya mentalkidi pendapat tokoh agama Islam yang pendapatnya memang Intoleran, dan orang orang Awam inipun membenarkan, Sami'na wa Atho'na bidunil fikril Amiq.
Perpecahan yang terjadi didalam Islam memiliki akar sejarah yang panjang, dan tulisan ini bukan tempat untuk menguraikannya, yang perlu kita ingat dan renungkan bahwa Nabi Muhammad sudah mewanti wanti kita kalau memang Umat Islam akan terpecah menjadi 73 Golongan dan yang selamat hanya 1 golongan saja, Hadits mengenai perpecahan umat Islam yang 73 Golongan itu selalu menjadi Justifikasi pembenaran pada satu golongan Islam, yang menganggap Golongannya lah yang paling benar dan yang lain salah, Dan bisa jadi juga tindakan tindakan Intoleran di lhami oleh pemahaman tekstual terhadap hadits ini yang dibarengi dengansemangat Amar Makruf nahi Munkar, lakin bidunil ilm.
Beberapa Kelompok Islam begitu semangat menggaungkam toleransi, sampai mendemontrasikan " Teologi Inklusif " yang mereka sebut sebagai solusi atas keberagaman pendapat yang ada, namun pada realisasinya tetap saja ada golongan Islam yang dimargilnakan oleh mereka, yang mereka anggap konservatif dan Fundamentalis, Islam dengan kedua corak tersebut, bagi mereka seperti tidak layak mendapatkan sikap toleransi, Tolak ukur yang dijadikan mereka misalnya boleh mengucapkan selamat natal, doa lintas agama dsb, yang dimana jika ada saja yang tidak setuju dengan itu, maka Cap Intoleran akan dilontarkan mereka,bukan terkadang,tapi selalu.mereka ini selalu di identikkan dengan Islam yang sekuler,liberal yang menjunnjung nilai nilai Pluralisme.
Dengan Kompleksnya keragaman Islam di Indonesia ini, maka sudah saatnya kita mau untuk bersatu dalam perbedaan sama sama membangun dan memajukan Indonesia dengan membawa nama Islam dan membuktikan kita unggul dari segi Kuallitas bukan hanya kuantitas, Hadits Rasulullah yang dimana beliau bersabda bahwa Perbedaan "di kalangan Umatku adalah Rahmat" harus menjadi rujukan yang mempedomani kita untuk mewujudkan harmonisasi persatuan Umat Islam meskipun berbeda beda pemahaman selagi itu tidak menyimpang, jika pun ada menemukan penyimpangannya yang Fahisy, Dialog harus diutamakan, adu argumen yang ilmiah harus digalakkan, bukan malah melakukan main hakim sendiri, adapun jika Dialog tidak menemukan titik penyelesaian dan tidak ada kesamaan maka serahkan ke pemerintah jika itu benar benar sebuah kesesatan yang benar benar sesat, jika misalnya hanya ranah khilafiyah yang ternyata tidak mengeluarkan mereka dari Islam, maka mereka adalah bagian dari kita. Jika kita masih membangun narasi untuk saling sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan hanya karena berbeda pendapat, mau sampai kapan?. Di saat non muslim sibuk memikirkan bagaimana caranya tinggal di mars, bagaimana caranya meniciptakan Time Machine, kita masih sibuk konflik internal Sunni Syi'ah, polemik Wahabi, Islam radikal, Islam Liberal, Islam ini Islam itu, mau sampai kapan? Bisa atau tidaknya itu tergantung dengan kita generasi Z, maukah kita mewujudkan itu? Apakah kita masih sinis terhadap golongan atau pemahaman Islam yang telah saya sebutkan tadi, apakah kita masih terbesit didalam hati kita ingin menyingkirkan mereka karena golongan atau pemahaman kita yang paling benar? Menganggap pemahaman kita yang paling benar itu adalah keharusan, jika tidak, kenapa kita tetap dengan pemahaman yang kita anut, namun bukan berarti kita bisa seenaknya menjudge orang lain yang tidak sepahaman dengan kita adalah salah yang kemudian membuat kita sampai atau bahkan melakukan persekusi dan tindakan yang anarkis terhadap mereka yang berbeda.Tulisan ini cuma opini yang mungkin isinya terkesan mengulang mengulang, tapi disitulah esensinya, supaya kita sadar paling tidak "ngeh" terhadap itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H