Beberapa tahun terakhir, Instagram dan TikTok tengah menjadi media sosial yang banyak dibicarakan oleh warganet. Dengan menduduki posisi yang tinggi, yakni pada posisi kedua dan keempat sebagai media sosial yang banyak digunakan di Indonesia, Instagram dan TikTok telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Berbagai informasi dapat kita terima melalui unggahan konten dengan topik yang beragam mulai dari pendidikan, hiburan, olahraga, hingga gaya busana dan kecantikan. Bersamaan dengan hal tersebut, kini banyak bermunculan influencer serta content creator yang meramaikan media sosial dengan unggahan mereka. Tak jarang seseorang yang telah memiliki profesi tetap juga menjadikan influencer sebagai pekerjaan paruh waktu ataupun pekerjaan lepas (freelance).
Menurut Anjani & Irwansyah (2020) influencer merupakan seseorang yang memiliki kemampuan untuk memberikan pengaruh terhadap keputusan pembelian dari audiens sasarannya melalui kompetensi, status, kredibilitas, reputasi atau hubungannya dengan audiensnya. Influencer biasanya menjalin kerja sama dengan sebuah merk untuk memberikan promosi dan rekomendasi atas produknya melalui konten berupa foto, video, maupun caption yang menarik. Apabila kita melihat hiruk pikuk sosial media saat ini, para influencer dapat dikatakan berhasil dalam memengaruhi audiens untuk membeli suatu barang ataupun jasa. Salah satu contohnya ialah Tasya Farasya dengan slogan terkenalnya "Tasya Farasya Approved". Melalui kontennya yang kerap membahas mengenai produk skincare dan make-up, Tasya Farasya mampu memengaruhi banyak warganet terutama para beauty enthusiast untuk turut membeli produk yang ia tampilkan pada kontennya.
Selain Tasya Farasya, masih banyak influencer yang turut mempromosikan barang lain seperti pakaian, alat rumah tangga, telepon genggam, tempat wisata, hingga makanan. Kemampuan soft-selling dari para influencer ini tanpa di sadari telah membuat banyak warganet ingin mengikuti gaya hidup mereka. Algoritma media sosial ini tentu saja sangat menguntungkan para pelaku usaha, karena mereka dapat dengan mudah meningkatkan promosi atas produknya dan meningkatkan penjualan. Namun apabila kita telisik lebih jauh, hal ini telah memunculkan gaya hidup dan kebiasaan baru di tengah masyarakat khususnya pada kalangan remaja. Remaja yang masih dalam keadaan labil akan mudah untuk dipengaruhi dan mudah untuk merasa cemas apabila tertinggal dari remaja lain.
Fenomena ini sering juga dikenal dengan nama FOMO atau Fear Of Missing Out. Perasaan ini dapat disebabkan oleh unggahan di media sosial, yang akhirnya menyebabkan seseorang menjadikan kehidupan orang lain di media sosial sebagai standar dan acuan dalam hidupnya. Terlebih lagi saat ini banyak influencer yang senang membagikan gaya hidupnya yang mewah sehingga memunculkan beberapa istilah baru seperti crazy rich, old money, high fashion, high valuable man and woman, dan lain lain. Istilah-istilah ini sebenarnya tidak mengarah ke suatu hal negative dan seharusnya justru dapat dijadikan sebagai motivasi untuk bekerja keras. Namun tidak sedikit orang yang salah mengartikan hal ini dan berpikir bahwa hal tersebut selalu berkaitan dengan kemewahan.
Pada kenyataannya istilah-istilah tersebut tidak hanya berkaitan dengan kemewahan, tetapi juga bagaimana kemewahan tersebut diperoleh. Beberapa influencer yang mendapat sebutan crazy rich atau mungkin old money umumnya memang berasal dari keluarga dengan kekayaan turun temurun. Atau bisa juga mereka memiliki bisnis dengan keuntungan yang luar biasa. Begitu halnya dengan istilah high valuable man and woman. Tidak sedikit yang salah memahami bahwa wanita atau pria yang memiliki 'nilai' yang tinggi adalah mereka yang selalu berpakaian mewah, mengendarai mobil mahal, dan menggunakan barang-barang mahal. Padahal seorang pria ataupun wanita dapat dikatakan high value apabila ia mampu mengenali kualitas dirinya, selalu percaya diri, pandai dalam menempatkan diri, dan dapat memperlakukan dirinya sendiri maupun orang lain dengan baik.
Kesalahpahaman ini menyebabkan banyak remaja berlomba-lomba untuk membeli barang-barang mewah dan berfikir bahwa standar untuk hidup bahagia adalah dengan memiliki barang mewah. Bahkan standar dalam hubungan keluarga, pertemanan dan hubungan percintaan pun turut terseret oleh standar yang muncul di sosial media. Tak jarang pula warganet melontarkan komentar negatif kepada mereka yang dianggap tidak memenuhi standar tersebut. Hal tersebut tentunya dapat dengan mudah memengaruhi pemikiran remaja untuk turut memenuhi standar tersebut dengan harapan hidupnya bisa lebih bahagia. Mirisnya, banyak dari mereka yang rela terlibat dalam dunia hutang hanya untuk memenuhi keinginannya dan dipandang memiliki kehidupan yang sempurna.
Pesatnya penyebaran informasi melalui sosial media membawa perubahan besar dalam kehidupan remaja modern. Namun tanpa adanya kematangan emosi serta pendampingan orang tua, hal tersebut dapat memberikan dampak yang buruk terhadap gaya hidup remaja. Untuk itu diperlukan dukungan penuh dari orang tua untuk membentuk remaja sebagai seorang pribadi dengan kecakapan intelektual serta emosi yang baik. Dengan memanfaatkan teknologi informasi, remaja dapat memberikan kontribusi yang baik bagi hidupnya dan orang-orang disekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H