Lihat ke Halaman Asli

ailsa ardelia

mahasiswi

Toxic Masculinity Permasalahan Tak Kunjung Usai

Diperbarui: 27 Oktober 2022   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Terlahir dari sebuah negara  yang budaya patriarki masih terbilang erat dan mendominasi, sangatlah tak asing lagi untuk menghadapi banyak stigma-stigma dimasyarakat yang masih sangat meluas hingga saat ini tentang permasalahan toxic masculinity. Banyak para ahli yang menyampaikan pendapatnya tentang apa itu toxic masculinity? 

Contohnya, Terry Kupers memiliki pandangan bahwa, toxic masculinity adalah sebuah sifat dalam sosial, yang mendorong adanya dominasi sifat maskulin, sifat merendahkan ( terutama pada perempuan), homophobia dan tindak kekerasan asusila. Dan seorang psikolog asal australia bernama Rawyn connell menjelaskan bahwa toxic masculinity adalah standarisasi sikap atau sifat seseorang pria secara berlebihan. Namun secar garis besar, toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi pria untuk berprilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Dimana seorang pria dianggap harus memiliki karakter tertentu dan dianggap lemah jika memiliki sisi feminim. Toxic masculinity ini pada dasarnya tidak hanya merugikan pihak laki-laki namun terkadang wanita juga menjadi korban.

Stereotype maskulinitas mencakup berbagai aspek karakteristik individu, seperti karakter, atau kepribadian, perilaku peranan, okupasi, penampilan fisik, ataupun orientasi seksual. Toxic masculinity dapat berbahaya karena membatasi definisi sifat seorang pria dan mengekang pertumbuhannya dalam bermasyarakat. Bahkan konsep tersebut sering disalah artikan menjadi salah faktor resiko bagi pria untuk melakukan KDRT, pelecehan seksual, hingga pemerkosaan. Menganggap pria harus selalu mendominasi dan kekerasan sebagai tindakan normal.

Berdasarkan riset online yang dilakukan YouGov (2017) mengenai tiga sifat yang paling mencerminkan maskulinitas, 55% responden di Asia Pasifik berusia 16-19 tahun memilih kekuatan, 27% memilih ketegasan, dan 24% memilih kecerdasan. Responden yang berusia di atas 45 tahun, 56% di antaranya menjawab kekuatan, 31% memilih ketegasan dan 25% menjawab ketepatan dalam mengambil keputusan. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa kekuatan merupakan persepsi masyarakat yang paling dominan terhadap pria, termasuk di Indonesia. Kekuatan tersebut dapat dipandang dari aspek fisik maupun psikologis. Dalam kehidupan sehari-hari dilingkungan kita masih sangat mudah dijumpai tentang fenomena ini, sebagai contoh kecilnya saja softboy, pria yang memiliki wajah yang cantik ataupun memiliki sisi feminim akan dianggap lemah dan tidak jantan.

Dalam hal mencegah hal-hal buruk terjadi, banyak upaya yang dapat kita lakukan, dimulai dari langkah kecil yaitu :

1. Mencintai diri sendiri,

2. Tidak menekan diri sendiri untuk memenuhi standar maskulinitas masyarakat terutama yang dianggap membawa dampak negatif,

3. Mengajarkan kepada anak-anak sedini mungkin memahami bagaimana harus berprilaku dan bertindak sebagai manusia yang baik,

4. Belajar menghargai orang lain,

5. Menumbuhkan rasa empati,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline