Lihat ke Halaman Asli

Lukas Benevides

Pengiat Filsafat

Keadilan adalah Mahkota Hukum

Diperbarui: 11 Maret 2021   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Keputusan Presiden Jokowi untuk mencabut Lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, terutama terkait pembukaan investasi baru industri minuman keras beralkohol di beberapa provinsi seperti Bali, NTT, Papua, dan Sulawesi Utara, yang merupakan salah satu peraturan pelaksana UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah catat berlapis-lapis.

Secara hukum, bila konsisten Pemerintah seharusnya mencabut lebih dulu Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang masih berlaku hingga ini. Masih terdapat beberapa cacat hukum lagi yang bisa dipaparkan para ahli hukum (m.hukumonline.com).

Konon pencabutan ini dilandasi seruan protes dari beberapa ormas Islam besar dan diskusi tatap muka Presiden dan Wakil Presiden. Reaksi gesit-positif Presiden terhadap 'usulan' para ormas ini tanpa mendengarkan suara pihak lain, khususnya yang dirugikan, adalah sebentuk ketundukan terhadap kekuasaan politik daripada primasi hukum. Etika adalah mahkota kekuasaan hukum. Apalah artinya hukum bila kehilangan mahkotanya.

Hukum harus etis

Menkopolhukam Moh. Mahfud MD di dalam bukunya "Politik Hukum di Indonesia" (2014) menuliskan tiga syarat pertimbangan di dalam memformulasikan produk hukum: filosofis, politik, dan hukum. Mahfud menganalogikan ide ini sebagai pohon: etika adalah akar, politik adalah batang, dan hukum adalah buah.

Struktur ini penting. Filsafat memang harus berada pada posisi pertama karena akar dari semua kajian yang menyentuh sisi esensial kemanusiaan. Sebuah pohon tanpa akar, darimana batangnya mulai bertunas? Tanpa akar filsafat, politik sebagai pohon, apalagi hukum sebagai buah tidak pernah mencapai aktualitas potensinya. Akar menentukan trajektori dan laju hidup batang dan kemungkinan buah. Tidak mungkin akar semangka secara alami menghasilkan batang mangga dan buah kelapa.

Maka, mengevaluasi sebuah produk hukum, entah Undang-Undang, entah Perpres, lirikan pertama harus tertuju kepada landasan filosofis. Selama akar sehat, batang dan buah akan menyusul meskipun faktor udara, cahaya, dan pengairan juga mempengaruhi pertumbuhan sebuah tanaman. Memutuskan mencabut sebuah perpres hanya karena tekanan politik kelompok tertentu adalah perendahan atas martabat hukum di republik ini.

Indonesia adalah negara hukum. Hukum berkuasa meskipun produk hukum kita lebih banyak jahitan politik kepentingan parsial jangka pendek. Menyerah terhadap tekanan politik, takut kehilangan dukungan dari kelompok terbanyak, adalah kekerdilan subordinasi hukum atas tahta politik. Sayang sekali, Presiden sendiri sedang menahbiskan kepentingan politik sebagai penguasa baru.

Lantas, bagaimana bila Presiden mencabut Perpres tersebut bukan karena tekanan politik, melainkan pertimbangan moral: Presiden tidak ingin melukai cita rasa keadilan kelompok tertentu yang bahkan jumlahnya paling besar untuk bangsa ini?

Filsafat Hukum: Keadilan

Kajian filsafat yang dimaksud Mahfud MD di atas adalah filsafat hukum dan atau etika. Esensi filsafat hukum dan atau ketika adalah keadilan. Jadi, hukum benar, baik, dan bermanfaat secara filosofis bila adil. Bahkan di dalam tradisi filsafat hukum, hukum dan keadilan dapat ditransposisi. Esensi hukum adalah adil. Prinsip keadilan macam apakah yang dimaksud?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline