Lihat ke Halaman Asli

Lukas Benevides

Pengiat Filsafat

Natal di Pandemi Covid-19: Bayi Yesus Bermasker

Diperbarui: 25 Desember 2020   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kandang Natal bermasker di Pra-Novisiat Claret Kupang/dokpri

Beberapa fenomena menarik terjadi selama persiapan hingga perayaan Natal tahun ini. Keseruannya bukan hanya difibrasi orang Kristiani. Teman-teman beragama lain semakin membuah seru Natal tahun ini. Di gereja Katolik Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya, saudara-saudara Muslim turut mendekor pohon Natal.

Begitupun di beberapa situs gereja Reformasi dan Katolik, kandang Natal didekorasi indah oleh sesama anak bangsa yang beragama lain. Sentuhan banyak tangan yang berbeda memoles perayaan Natal ini menjadi sangat molek. Keelokannya serupa keindahan keberagaman Indonesia. Perayaan Natal indah justru karena dirayakan semua warga Indonesia yang heterogen. Peristiwa berahmat ini tentu saja memelekkan mata kita bahwa hidup terasa berwarni, harmonis, indah menawan justru karena dihias perbebedaan.

Gotong royong silahturahmi di atas mungkin terjadi rutin bertahun-tahun. Namun, keelokan perayaan Natal tahun ini menunjukkan panorama yang unik dan menarik. Pohon Natal dihiasi dengan aneka bentuk dan warna MASKER. 

Di tengah pandemi, getaran hati sesama insan beriman yang tahu bahwa meskipun kita beragam, Allah kita satu, berbondong-bondong memenuhi halaman dan lorong-lorong gereja untuk berbagi sukacita, iman, dan harapan. Pandemi tidak sedikit pun menyurutkan gelora mereka selama masker melingkar rapi di sekitar mulut dan hidung. Tuhan Yesus yang lahir di kandang Natal pun dipakaikan masker untuk mencegah bayi Yesus tertular Covid-19.

Pemandangan di atas menarik untuk dikecap rasa dan nalar. Ada apa dengan masker? Bukankah bayi Yesus adalah Putra Allah yang tidak mungkin terjangkit virus Corona? Memaskerkan bayi Yesus tentu saja tidak dipahami secara literaris, tetapi simbolik. Makna simbolik seperti apa sih di balik hiasan ganjil yang memikat mata di atas?

Masker Pra-Pandemi Covid-19

Sekitar November 2019, saya mengendarai motor berkeliling Kota Kupang. Tidak hanya mencuci mata di sekitar kota tempat para 'harim' (gadis elok) berkulit bening Belanda bercampur rambut hitam lurus Jepang berjemur di bibir sepanjang pantai. Saya bermaksud mencari toko yang menjual pernak-pernik Natal. Sekali mendayung, dua pulau terlawati.

Setelah dua jam berkeliling dari Ramayana Mall, Lotemart, barisan toko di Oebofu, Kampung Solor, Oesapa,  dan beberapa tempat lain, saya keletihan. Karena banyaknya toko dan luasnya Kota Kupang, saya menjadi patah arang. Seperti biasa, dalam kondisi berada di ambang batas, insting "survive" menguak. 

Tinggal sedikit asa, saya meluncur di jalan Timor Raya Lasiana. Melihat beberapa pria berusia paruh baya tengah nongkrong di pinggir jalan sambil menyeruput kopi di Lesehan, saya memutuskan memarkir motor di depan mereka. Hanya sekitar 1 meter jarak kami. Masker masih terpampang rapih di mulut dan hidung saya. Seperti biasa, saya memiliki habitus untuk bermasker tatkala bepergian dengan kendaraan apapun. Kondisi imun tubuh saya yang sensitif dengan debu dan mudah terserang flu memaksa saya memanfaatkan masker sudah sejak 6 tahun lalu.

Tanpa melepaskan masker, saya langsung memulai mementaskan ritual tata krama di tanah Timor. Memberi selamat dan memohon izin untuk bertanya. Sebelum pertanyaan terlontar dari mulut saya, teguran langsung berterbangan melebihi kecepatan angin dari seorang bapak yang kala itu bagian dari kelompok tersebut menuju telinga saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline