Aku sedang berada di kantin siang ini, membeli eskrim rasa buah untuk meredakan panas yang datang dari mie goreng rendang tadi. Saat memasuki kelas, aku terus mengibas-ngibaskan buku tulis di depan wajahku, pedas dan panas, itu yang kurasakan. Eskrim rasa buah tidak begitu membantuku.
Awan hitam mulai menutupi teriknya matahari, diikuti oleh mataku yang berat tak secerah mentari, "Siapa suruh tidur?" Wasena menepuk pundakku, "Apaansih, mata ketutup aja belom." balasku dengan kesal sambil mencubit telapak tangannya yang masih ada di mejaku.
"Belum nutup mata aja udah ketahuan." jawab Wasena, berarti aku sudah keseringan tidur dalam kelas.
Setelahnya kantukku sungguh tak terbendung, namun tidak mau ketinggalan pelajaran juga. "Berisik ah, kalau ada catatan infoin aja, Na, makasih banyak."
Aku bisa mendengar Wasena menghela nafas berat, aku hanya bisa membalikkan badanku ke arah tembok.
* * *
"Ares. Bangun, pulang." pinta Wasena padaku yang tertidur seperti manusia gembel, bahkan sudah ada setidaknya satu pulau yang berhasil kubuat di meja.
"Jorok banget sih?! Wuekh." lagi-lagi Wasena melihat ke arahku yang mengelap bibir dengan dasi abu-abu khas anak SMA.
"Lebay amat, kayak gak pernah ngiler aja." balasku dengan sindiran lemas. "Pernah, tapi gak di meja sekolah. Ayoklah." Wasena menepuk-nepuk pundakku agar aku cepat berjalan sambil mengusap wajahku, ah benci banget kayak anak kecil.
* * *
https://open.spotify.com/track/04IXeEjiQ4kdS7JJF9pjxT?si=jXSiRtIzRJ-5K4bU9OUo3w
"Ares, kamu pulang bareng siapa? Aku udah mau pulang ini." keluh Wasena padaku, jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. "Sama Bunda, katanya lagi on the way." Wasena mengangguk mengerti, "Yaudah, lima menit lagi supirku dateng, yakin gak mau nebeng aja?" tanya Wasena.
Aku menggeleng yakin, "Enggak, Na, makasih banyak ya." jawabku. "Itu dia, okelah Res, besok jangan lupa mie goreng lagi! Jumbo!" seru Wasena, aku hanya menggeleng ribut padanya dan dibalas tawaan.
* * *
Jujur saja, ini sudah jam empat lewat dua puluh menit selama aku menunggu Bunda datang. Memang se-macet apa pakai motor dari rumah ke sekolah? Aku menghela nafas pasrah. Teman-temanku satu persatu mulai berjalan menjauhi area sekolah, hanya aku yang tersisa. Sambil ditemani angin yang bertiup, membuat rambutku melambai-lambai di udara.