Lihat ke Halaman Asli

Fatmavati

Penulis Ada Adanya

Kebaikan Berkat Kata-kata Positif dari Bude

Diperbarui: 12 Agustus 2018   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Aku tidak menduga atas apa yang menyambut kepulanganku kembali ke Kota Pacitan di akhir November 2017. Jam 5 pagi seharusnya sudah sampai depan rumah,  aku masih tertahan di dalam kendaraan travel sekitar sejam. Gara-gara pohon besar ambruk menghalangi jalan utama di tengah hujan lebat.

Seorang penumpang bercerita ada tanggul yang jebol mengakibatkan desanya mengalami banjir. Aku tidak terlalu menanggapi, yang terpikir hanya ingin sampai rumah karena lelah.  Kuanggap banjir itu hanya menggenangi jalanan. 

Perjalanan kemudian bisa terlanjutkan.  Di pusat kota, beberapa titik jalan yang rendah tergenang air.  Pun ketika sampai rumah, selokan depan meluap mendekati tengah jalan. Sejak sehari sebelumnya curah hujan memang sangat ekstrem. Dapat kabar dari group keluarga besar bahwa sanak saudara, yang kebanyakan tinggal di seberang sungai dekatdengan jebolnya tanggul, kemasukan banjir rumahnya. Mengejutkan.

Teras penduduk sekitar tersebut kebanyakan dibangun tinggi karena berada di wilayah lebih rendah sehingga sering terkena banjir dahulu sebelum ada tanggul. Jika banjir sudah masuk berarti ketinggian air mencapai sekitar 1,5 meter. Benar-benar banjir sungguhan.

Evakuasi segera dilakukan. Kakakku membantu menyelamatkan saudara-saudara kami yang terjebak banjir.  Tidak mudah karena keterbatasan perahu karet.  Ada satu keluarga yang baru sampai dan mengungsi di rumahku sore itu. Namun saat itu,  air di depan rumah naik ke tangga teratas teras, pertanda perlahan-lahan rumahku juga bakalan kemasukan air juga.

Mereka dilarikan ke tempat saudara yang tanahnya agak tinggi, bahkan tidak tersentuh banjir. Sedangkan aku sekeluarga masih bertahan di rumah. Padahal orang-orang di lingkunganku banyakyang berjalan mengungsi dengan melawan banjir setinggi pinggang orang dewasa menuju bangunan sekolah bertingkat. Aku sekeluarga rencananya mengungsi ke lantai dua rumah bude. Rumah kami berdempetan.

Sampai sore banjir di depan rumah tampak bening alias air hujan, tapi setelah magrib air berubah cokelat berasal dari air sungai. Tanggul dekat wilayahku jebol. Aliran air semakin kuat.  Selepas Isya,air mulai masuk rumah.

Hari itu hari pertama kalinya aku merasakan banjir dalam rumah. Seumur aku hidup. Bencana alam yang biasanya tertayangkan di layar televisi,  kini terpampang nyata di hadapan kedua mata. Banjir yang melanda akibat dampak siklus tropis cempaka merupakan yang banjir terbesar dalam sejarah Kota Pacitan.

Haruskah Menyalahkan Banjir? 

Malam itu yang kupikirkan tentang esuk. Haduh, bakalan menjadi hari-hari yang sibuk bersih-bersih.  Rumah bak kapal pecah dengan perkakas kecil yang porak poranda.

"Kok bisa banjir seh?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline