Lihat ke Halaman Asli

Hakim MK Cecar Dosen Penolak Judicial Review

Diperbarui: 19 Januari 2017   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Sidang judicial review tiga pasal kesusilaan dalam KUHP dilanjutkan pada hari Rabu, 26 Oktober 2016, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Dalam sidang kali ini, Komnas Perempuan selaku Pihak Terkait menghadirkan Dr. Lucky Endrawati, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, sebagai Ahli.

Dalam pemaparannya, Dr. Lucky menegaskan ketidaksetujuannya akan permintaan judicial review terhadap pasal-pasal kesusilaan tersebut. Menurutnya, hukum pidana adalah ultimum remedium atau tindakan terakhir yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan, termasuk masalah-masalah kesusilaan.

Argumen Dr. Lucky ini mendapat tanggapan dari para hakim MK. Dr. Suhartoyo, SH., MH., adalah yang pertama mengajukan pertanyaan tentang konsep ultimum remedium tersebut. Menurut Hakim Suhartoyo, permasalahan yang dibicarakan itu sebenarnya adalah persoalan teknis.

“Bagaimana penegak hukum dalam hal ini, mungkin penyidik, mungkin penuntut umum, mungkin juga bahkan hakim, (menentukan) apakah ini akan dikenakan sebuah sanksi dengan perspektif premium ataukah ultimum? Itu kan pasti masing-masing kasus akan berbeda dan itu tentunya ada pada kualitas perbuatannya,” ujar Hakim Suhartoyo.

Dr. Patrialis Akbar, SH., MH., memberi komentar yang lebih pedas. “Memang mudah kita bicara ultimum remedium. Tapi saudara bayangkan, ultimum remedium yang mana bentuknya? Apakah memang perbuatan-perbuatan besar yang membahayakan kepentingan seorang wanita dilecehkan, anak-anak yang diperkosa, baik itu sesama jenis, orang dewasa, maupun tidak sesama jenis, apakah itu juga masuk di dalam ultimum remedium?” cecarnya.

Menyambung apa yang disampaikan oleh Hakim Suharyanto, Dr. Anwar Usman, SH., MH. Mengingatkan bahwa persoalan sesungguhnya adalah pada ketiadaan norma.

“Problemnya adalah kita siapkan dulu normanya. Kalau misalnya pendekatan-pendekatan lain, pendekatan agama, pendekatan adat, kemudian ternyata itu tidak mampu, terakhir baru (pemidanaan),” ungkapnya.

Ketiadaan norma yang melarang perzinaan, pemerkosaan terhadap laki-laki dan pencabulan sesama jenis menyebabkan masyarakat tidak terlindungi dari tiga hal tersebut. Itulah yang mendorong munculnya permohonan judicial review terhadap tiga pasal kesusilaan dalam KUHP. Tanpa norma, maka semua bentuk perbuatan tersebut tidak dianggap terlarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline