Sidang lanjutan judicial review pasal-pasal kesusilaan KUHP pada Jumat (7 Oktober 2016) di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, menghadirkan Kemala Chandrakirana. Ia diundang oleh Komnas Perempuan sebagai ahli untuk menyampaikan pandangannya.
Menurut Kemala, salah satu masalah besar yang menyebabkan ia menolak usulan judicial review tersebut adalah karena perluasan makna zina akan menjadikan masalah ini tidak menjadi delik aduan lagi. Padahal, menurutnya, tidak semua orang menginginkan masalah perselingkuhan diatasi dengan perceraian. Untuk mempertegas pandangannya, Kemala mengutip testimoni seorang perempuan yang suaminya diam-diam selingkuh.
“Saya marah, sedih, kecewa, dan merasa sangat terpukul, orang yang saya anggap selama ini tegas, jalannya lurus, dan selalu menjadi panutan untuk adik-adiknya, sekarang terbukti tidak setia,” ungkap Kemala saat membacakan testimoni tersebut.
“Tapi saya bingung, anak-anak masih perlu perhatian bapaknya, mereka terutama yang kecil juga sangat dekat dan segan dengan bapaknya. Meskipun anak yang pertama akhirnya tahu keburukan bapaknya, tetapi anak perempuan saya tetap tidak ingin kami berpisah. Anak saya bilang, malu kalau ketahuan bahwa ibu dan bapaknya berpisah karena bapaknya mau kawin lagi dengan orang lain,” lanjut Kemala membacakan testimoni yang sama.
Pada akhirnya, sang istri mau berusaha memaafkan suami, dengan menjadikan anak-anak sebagai pertimbangan utamanya. “Sebagai informasi, kini perkawinan sang ibu sudah memasuki usia 45 tahun. Jika Pasal 284 bersifat delik biasa, maka ketahanan keluarga ibu ini tidak mungkin terselamatkan,” tutur Kemala lagi.
Feizal Syahmenan, Kuasa Hukum Pemohon judicial review, mengajukan sebuah retorika ketika menanggapi paparan Kemala. Feizal mempertanyakan konsep ketahanan keluarga yang sempat disinggung oleh Kemala.
“Bagaimana kita bisa mengatakan ada ketahanan keluarga dalam sebuah keluarga yang semu, di mana suaminya berzina setiap hari dan istrinya demi tetap mendapat nafkah dari suaminya bersikap nrimo seperti itu? Dan anak-anaknya yang sudah tahu keadaan itu, juga hanya bisa berdoa. Nah, apakah keluarga seperti itu bisa dibilang memiliki ketahanan keluarga?” tukas Feizal.
Perdebatan ini tak pelak memancing komentar dari sejumlah pihak. Akmal Sjafril, Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) yang juga salah seorang pemohon judicial review, menganggap ada perbedaan perspektif yang sangat fundamental dalam memahami ketahanan keluarga.
“Ada yang berusaha membangun ketahanan keluarga dengan memperkuat basisnya, yaitu dengan memperbaiki kehidupan berkeluarga, memperbaiki interaksi antar anggota keluarga, menumbuhkan kasih sayang, memperbaiki pengasuhan, melarang perselingkuhan dan sebagainya. Tapi ada juga sebagian pihak yang tidak menyelesaikan permasalahan-permasalahan mendasar dan berkutat pada apa yang terlihat di permukaan saja. Karena itu, yang dihasilkan adalah ketahanan keluarga yang palsu, tanpa berdasarkan sikap saling percaya dan kasih sayang yang sesungguhnya,” tandas Akmal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H