Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Arief Hidayat, menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler dan tidak menggunakan prinsip yang sama dengan yang digunakan di Barat. Hal itu ditegaskannya dalam sidang lanjutan judicial review terhadap tiga pasal kesusilaan KUHP pada Kamis (22/09) silam di Gedung MK, Jakarta.
Setelah mendengarkan paparan dari Roichatul Aswidah, anggota Komnas HAM yang diajukan sebagai ahli oleh Koalisi Perempuan, Arief menegaskan posisi MK sebagai penjaga ideologi bangsa.
“Saya salah satu yang berpendapat bahwa Mahkamah ini selain sebagai the guardian of the constitution juga sebagai the guardian of the ideology, atau penjaga ideologi negara Pancasila,” ungkapnya.
Sebagai salah seorang yang menerima amanah dari negara untuk menjaga ideologi bangsa, Arief berpendapat bahwa apa yang terjadi dalam proses persidangan judicial review terhadap pasal-pasal kesusilaan ini adalah pertempuran di antara dua ideologi.
“Saya merasakan di dalam persidangan ini ada perang ide antara pandangan yang konservatif dan pandangan yang liberal,” ujarnya lagi.
Berkenaan dengan paparan dari Roichatul, Ketua MK memandang bahwa prinsip-prinsip yang digunakan tidak bersesuaian dengan ideologi Pancasila.
“Dari presentasi yang disampaikan, saya melihat (Roichatul) selalu mendasarkan pada prinsip-prinsip yang dibangun secara internasional-universal. Padahal, kita tahu bahwa the founding fathers negeri ini sudah mewariskan kepada kita satu prinsip, yaitu bahwa hukum di Indonesia harus dibangun berdasarkan ideologi dasar negara Pancasila,” tandasnya.
Arief berpandangan bahwa apa yang dipraktikkan di negara-negara Barat tidak dapat sepenuhnya berlaku di Indonesia. Pasalnya, Indonesia bukanlah negara sekuler seperti umumnya negara Barat. Ideologi sekuler tersebut, menurut Arief, dibangun atas nilai-nilai yang didasari pada pemisahan agama dan kepercayaan satu masyarakat dengan negara.
Adapun hukum yang berlaku di Indonesia senantiasa berlandaskan Pancasila yang diawali dengan sila pertama yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan.
“Artinya, kalau kita menjabarkan sila yang pertama, maka sistem hukum Pancasila di Indonesia harus dibangun dan disinari oleh sinar Ketuhanan,” tuturnya. Karena itu, menurut Arief, pendekatan sekuler tidaklah cocok untuk Indonesia. “Hukum kita tidak diletakkan dalam pembangunan hukum yang sifatnya sekuler,” pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H