Sidang judicial review untuk pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP kembali dilanjutkan pada Selasa (30/08) siang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Sidang kali ini menghadirkan kelompok-kelompok yang mengajukan diri sebagai pihak terkait, yaitu Komnas Perempuan dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Ketua Komnas Perempuan, Azriana, yang memaparkan pandangan resmi organisasinya di hadapan majelis hakim menyatakan bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara tersebut. “Kepentingan Pemohon seharusnya disampaikan kepada lembaga legislatif dalam hal ini DPR dan Pemerintah yang saat ini sedang dalam proses revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Erasmus Napitupulu yang berbicara atas nama ICJR. Menurutnya, hal-hal yang membatasi hak asasi manusia semestinya dibahas di DPR, bukan di MK.
Namun keterangan kedua orang tersebut dibantah oleh para hakim MK. Kritik tajam pertama kali disampaikan oleh Hakim Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., yang secara lugas menyatakan bahwa seolah-olah kedua pihak terkait meragukan MK.
“Tadi Saudara menyampaikan bahwa pembahasan yang dilakukan di ruangan ini mestinya dipindah, tidak ke Merdeka Barat (kantor MK - red.), tetapi ke Senayan (gedung DPR - red.). Tapi Saudara mengatakan bahwa tetap menjadi menarik ketika ada jaminan bahwa Mahkamah Konstitusi menjadi penafsir. Ini kelihatannya Saudara tidak mempercayai Mahkamah Konstitusi. Tetapi saya kira itu hak Saudara,” ungkap Aswanto.
Komentar pedas lainnya datang dari Ketua Majelis Hakim, Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. “Saya sangat tergelitik dengan keterangan pihak terkait baik dari Komnas Perempuan maupun dari ICJR. Terselip secara implisit, saya melihat ada kritik dari kedua pihak terkait terhadap Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.
Hal yang mengganggu itu, menurut Arief, adalah kesan adanya keterbatasan jika masalah tersebut dibahas di MK. “Kalau itu diputus oleh Mahkamah Konstitusi berarti kurang komprehensif atau kurang holistik dibanding kalau itu dibahas melalui legislative review di DPR dan Presiden. Kemudian yang kedua, Saudara seolah-olah mengadu antara persetujuan rakyat dan kewenangan konstitusional yang diberikan oleh konstitusi kepada MK,” tandasnya lagi.
Arief kemudian mengingatkan bahwa konstitusi telah mengatur bagaimana MK diberi kewenangan untuk menyempurnakan undang-undang dalam kerangka kerja yang sudah disepakati bersama. Ia juga menegaskan bahwa meski Hakim MK hanya ada sembilan orang, bukan berarti pembahasan di Sidang MK jadi tidak komprehensif dan holistik.
“Malah saya merasakan di sini lebih komprehensif dan lebih holistik. Karena suasananya lebih tenang, semuanya tidak punya kepentingan politik, tidak punya kepentingan apa-apa,” pungkasnya.
Sidang uji material pasal-pasal kesusilaan akan dilanjutkan kembali pada Kamis (08/09) depan, menghadirkan sejumlah pihak terkait lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H