Lihat ke Halaman Asli

Guru Besar Unpad: Maknai HAM dengan Kearifan Lokal!

Diperbarui: 29 Agustus 2016   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atip Latipulhayat, Ph.D., di Mahkamah Konstitusi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad), Atip Latipulhayat, Ph.D., turut memaparkan pandangannya dalam sidang judicial review sejumlah pasal kesusilaan dalam KUHP di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/08) lalu. Dalam tugasnya sebagai saksi ahli, Atip menyampaikan presentasinya yang berjudul “HAM Universal-Partikular”.

Dalam presentasinya, Atip menggarisbawahi bahwa pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP masih sangat terbatas dan tidak mencerminkan norma yang berlaku di tanah air.

“Ada tiga hal yang menjadi keprihatinan kita bersama dari pasal-pasal ini. Pertama, perzinaan yang ruang lingkup normanya terbatas hanya bagi yang sudah menikah. Kedua, pemerkosaan yang ruang lingkupnya hanya dibatasi bagi perempuan. Dan ketiga, perbuatan cabul yang hanya terbatas kepada korban yang belum dewasa. Oleh karena itu, kami menganggap bahwa norma yang digunakan dalam KUHP tersebut didasarkan oleh nilai-nilai yang kami anggap bertentangan dengan UUD 1945,” ungkap Atip.

Ada sebagian orang, menurut Atip, yang menganggap bahwa HAM itu berlaku secara universal dan absolut. “Bagi para penganut paham universalisme HAM absolut, mereka tidak mengakui nilai-nilai partikulir yang berasal dari agama dan kearifan lokal suatu bangsa. Tapi pertanyaannya, apa memang ada universalisme absolut HAM itu?” ujar Atip beretorika.

Menurut Atip, pandangan semacam itu justru keliru. Sebab, di seluruh dunia, orang mengakui nilai-nilai partikular dalam kehidupan setiap bangsa.

“HAM adalah universal dalam tataran nilai atau prinsip. Namun, ketika nilai atau prinsip tersebut diformulasikan ke dalam norma-norma konkret, HAM tidak lain adalah kumpulan dari nilai-nilai partikular,” ujarnya lagi.

Dalam pandangan Atip, perdebatan tentang universalisme dan partikularisme HAM ini sebenarnya sudah berakhir dengan ditandatanganinya Deklarasi Wina pada tahun 1993. Deklarasi tersebut dengan tegas menyatakan bahwa penerapan nilai universalisme HAM harus memperhitungkan juga kondisi khusus setiap negara yang memiliki keragaman budaya, agama, sosial, ekonomi dan politik.

“Oleh karena itu, bangsa Indonesia tak perlu ragu menetapkan pandangannya sendiri terhadap HAM, berdasarkan nilai-nilai agama dan budaya yang berlaku di tanah air. Tidak ada yang mengharuskan bangsa Indonesia untuk mengikuti pandangan bangsa-bangsa lain, karena itu berarti kita belum lagi merdeka dalam berpikir,” tandas akademisi yang namanya sudah dikenal di dunia internasional sebagai pakar HAM ini.

Uji material terhadap pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP ini diajukan oleh sejumlah pemohon yang merasa bahwa KUHP tidak mampu lagi melindungi keluarga dan masyarakat dari beberapa bentuk kejahatan kontemporer. Dalam sidang tersebut, tim pemohon menghadirkan tiga orang saksi ahli, yaitu Dr. Asrorun Ni’am Sholeh (Ketua KPAI), Atip Latipulhayat, Ph.D. (Guru Besar FH Unpad), dan Dr. Hamid Chalid (Wakil Rektor UI).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline