Lihat ke Halaman Asli

[FKK] Bapakku Penggemar Aduan

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Melani Ika Savitri (Aii Vitri) No. 5

Pagi-pagi buta ketika ayam jantan menggeliat bangun dan menyuarakan kokok gagahnya, bapakku sudah siap dengan kaos berkerahnya dan sepeda motor yang siap ditunggangi.

“Apa perlu sampeyan ajak Fitri ke aduan? Mosok anak kecil dicontohi nggak baik?” sungut ibuku dari dapur.

“Halah, kan hitung-hitung jalan-jalan ke rumah simbahnya. Lagipula ini ‘kan cuma kompetisi, hiburan buat rakyat kecil seperti kita ini,” sanggah bapakku.

Mbok ya buat kompetisi dan hiburan itu yang bermanfaat dan mendidik!”

Wis, aku mau berangkat, udah malas meladeni kamu!” tukas Bapak sembari melambaikan tangan padaku pertanda kami harus berangkat sekarang.

Aku dan Bapak menaiki sepeda motor berwarna hitam yang baru beberapa bulan lalu dibeli Bapak dari seorang kenalannya. Sepeda motor itu telah dipreteli—dirombak sedemikian rupa tidak menyerupai aslinya.

Hanya butuh kurang dari satu jam untuk sampai ke desa di mana kakek nenekku tinggal. Desa yang juga menjadi tanah kelahiran Bapak. Bapak memarkirkan sepeda motor di sebuah halaman rumah yang tak berpavin.

“Kamu tunggu dulu di sini, Bapak mau periksa sapinya di belakang!” ujar Bapak padaku. Aku duduk di ruang tamu sempit sebuah rumah yang berada di tengah. Ada dua rumah lagi yang mengapit rumah ini.

“Ibumu nggak ikut, Fit?” tanya seorang lelaki paruh baya padaku. Aku bergegas mencium punggung tangannya.

“Nggak, Mbah,” jawabku singkat.

Mbah putrimu sudah di pasar aduan, buka warung dadakan,” ungkapnya.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Mbah kakungku seorang pensiunan PNS sedang istrinya ibu rumah tangga yang terkadang berjualan makanan musiman. Kulihat beberapa menit kemudian bapak menuntun seekor sapi yang gagah berwarna coklat muda. Ia lantas mengikat tali kekang si sapi pada pohon mangga.

“Aku pasti menang besar kali ini!” ucap bapak antusias kala mbah kakung dan aku mendekatinya. Parasnya berbinar seakan yakin seratus persen sapi aduan peliharaannya yang rajin dirawat, dicekoki jamu, dicarikan rumput, melebihi perhatiannya pada anak istri itu akan menang dan membuatnya pulang dengan segepok uang.

“Jamu dan telornya sudah diminumkan lagi?” tanya Mbah.

“Sudah, Pak. Aku berangkat dulu, ya, Pak. Doakan sapiku menang dan Bapak dapat bagian duit nanti!” ucap bapakku pada Mbah beberapa waktu kemudian. Kami pun pergi dari halaman rumah Mbah disertai seorang saudara jauh bapak yang membantu membawa si sapi aduan.

Lapangan berumput yang berdebu akibat keringnya tanah di musim kemarau ini ramai dipadati pengunjung. Aneka penjual menawarkan dagangannya. Mulai dari makanan dan minuman, mainan anak, sampai baju-baju murah. Area ini sudah mirip pasar malam. Terik matahari di awal siang mulai memanggang kulit kami. Situbondo berada di wilayah pinggiran laut dan bukan daerah yang murah hujan.Di tengah area pasar dadakan ini, berdiri sebuah pintu semi permanen yang cukup besar dan tengah terbuka sekarang. Loket tiket untuk penonton tengah sibuk melayani antrian pengunjung yang antusias ingin masuk ke dalam arena aduan di balik pintu semi permanen tadi.

“Ayo, masuk!” seru Bapak sejenak kemudian, memupuskan lamunanku.

Di dalam, tempat duduk penonton telah diatur sedemikian rupa hingga menyerupai susunan bangku di stadion olahraga. Aku mengekori Bapak yang merangsek naik menuju bangku di bagian tengah.

Sorak sorai penonton yang kian lama kian berjubel, mengingatkanku pada situasi pertandingan bola yang kerap kutonton di layar televisi 14 inchi merk ternama dari Jepang di rumah kecil kami.

“Aku bertaruh buat sapinya Mail, yang warna cokelat gelap itu. Dia juara bertahan dua tahun berturut-turut. Aku yakin belum ada yang mampu mengalahkan,” tukas bersemangat seorang lelaki seusia bapakku yang duduk di belakang kami.

Seketika kulihat bapak menoleh dan berbasa-basi dengan lelaki tersebut. Mereka berdua dan seorang lagi yang tak juga tak kukenal sibuk memperbincangkan sesuatu dengan setengah berbisik.

“Beres, Nduk! Bapak bertaruh buat sapi kita dan sapi juara bertahan. Hari ini kita akan bawa banyak uang,” ucap Bapak, lagi-lagi dengan nada yakin.

Aku tak menyahut. Setengah jam selanjutnya, suasana stadion dadakan ini berubah lebih riuh. Pertandingan telah dimulai. Sapi-sapi gagah yang telah dilatih dan diberi perawatan khusus, saling menyerang. Mereka menyeruduk, menghindar, sesekali berlari menjauh, menyerang lagi, hingga salah satunya kalah dengan membawa luka-luka berdarah di beberapa bagian tubuh. Aku tak sekalipun ikut bersorak. Aku bukan pecinta hewan apalagi aktivis pelindung hak-hak hewan seperti yang pernah sekilas kutonton beritanya di televisi; namun aku tetap tak senang melihat manusia-manusia ini menjadikan adu sapi sebagai hiburan, mata pencaharian, sekaligus ajang berjudi.

Seusai pertandingan yang berjam-jam, Bapak akhirnya mengajakku keluar dari deretan penonton. Bapak membawaku ke sebuah warung makan.

“Hari ini Bapak kurang beruntung, Fit. Taruhannya cuma menang tipis. Sapi kita juga kalah,” keluh Bapak di tengah kesibukannya melahap sepiring nasi rawon.

“Nggak usah masuk lagi, Pak. Kita pulang saja, ya, Fitri sudah capek,” bujukku.

Bapak pun mengangguk. Aku menarik nafas lega.

***

Setahun berjalan tanpa terasa. Tahun ini aku masuk ke universitas. Sebuah universitas negeri kenamaan di sebuah kota besar menanti kehadiranku. Bapak mengantarku di hari pendaftaran ulang sekaligus memenuhi undangan dari pihak universitas. Hatiku berdebar mereka-reka seperti apa kehidupan di kampus nanti.

“Hati-hati hidup di kota besar, Nduk! Pintar-pintarlah membawa diri dan yang tekun belajarnya!” pesan Bapakku menjelang kepulangannya kembali ke kota kami.

“Iya, Pak. Doakan Fitri kuat dan sabar,” sahutku.

Kami pun berpisah beberapa menit kemudian. Aku tak diperbolehkan mengantar ke pool bus malam. Aku menyetujuinya mengingat aku pendatang baru di kota ini dan jelas belum hafal rute angkutan kota yang harus kutumpangi.

Sebelum berangkat tadi, Bapak sempat meminta nomor telepon tante dan om di Bojonegoro, kota asal ibuku. Entah apa maksud Bapak. Barangkali ada keperluan yang hendak dibicarakan dengan kerabat ibu, pikirku.

Satu pekan kemudian, aku menerima telepon dari ibu. Ibu menghubungiku ke nomor rumah kost. Aku bertanya-tanya apakah ada kabar penting, karena seingatku ibu bilang baru akan menelepon lagi minggu depan.

Nduk... musibah ini, musibah!” ucap Ibu di ujung telepon. Suaranya terdengar nelangsa. Seketika hatiku berdesir. Ada apa ini?

“Ada apa, Bu? Musibah apa maksud Ibu?” tanyaku ketar-ketir.

“Tempo hari sehabis mengantarmu ke Bogor, rupanya bapakmu mampir dulu ke rumah pakde-mu. Kamu tahu ‘kan, pakdemu itu sama saja dengan bapakmu, hobi taruhan dan menyabung ayam!”

Deg. Firasatku makin tak karuan. Agaknya bapak tak pernah jera. Selepas kekalahan berturut-turut di aduan sapi, ia sempat menyatakan tobat dan akan mencari pekerjaan sampingan lain yang lebih baik dan berprospek.

“Bapakmu sudah berhari-hari nggak pulang. Dia juga membawa uang simpanan ibu!” suara ibu diiringi tangis sesenggukan. Aku terhenyak mendengar penuturan ibu.


Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Kota Kelahiran

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline