Lihat ke Halaman Asli

Jeruji Besi, Mimpi Buruk Angie

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kita membayangkan, apa yang sedang dirasakan Angelina Sondakh saat ini?

Baru saja, seorang teman wartawan berbincang dengan saya by chatting. Kita bernostalgia ketika saat itu sama-sama harus mewawancarai Angie berkaitan kesehariannya sebagai Anggota Dewan, di ruang kerjanya.

“Ruangannya wangi ya, In,” seloroh teman saya.

“Ini baru ruangannya lo,” sahutku saat itu. Kita baru saja masuk ke dalam ruangannya, dan menunggu Angie yang sedang menerima telepon.

Gaya Angie, seperti biasa, selalu menampilkan aura kepintaran otak dan kecantikan tubuh yang dimilikinya. Ini pertemuan ketiga saya dengan Angie. Sebelumnya, saya pernah mewawancarainya terkait bukunya juga ketika ia menjadi Putri Indonesia.

Angie menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan santai, terbuka, dan sesekali memperlihatkan gayanya yang ‘elegan’. Kami juga menyinggung desas desus seputaran hubungannya dengan mendiang Adjie Massaid, yang ketika itu dibantahnya dengan halus namun sangat tegas.

‘Wah, Angie pintar menyangkal ya,” ujar temanku ini, ketika kami di dalam lift, usai sesi wawancara.

Dan kemarin, di televisi saya menyimak persidangan Nazaruddin yang menghadirkan Angie sebagai saksi. Buru-buru sama menghubungi teman wartawan saya –yang pernah bersama-sama mewawancarai Angie-.

‘Lihat deh body language nya Angie. Kok seperti bukan Angie ya?” kataku, mengomentari bahasa tubuh Angie di persidangan. Pernyataan ini langsung diiyakan teman saya. Kami menilai, Angie yang ada di televisi, bukanlah Angie yang pintar, cerdas, punya percaya diri tinggi, dan komunikatif.

3 Kebohongan Di Persidangan

Ada 2 ‘gaya bersikap’ Angie yang ditampilkan saat ia menjawab pertanyaan di persidangan. Ketika ia harus menjawab pertanyaan Nazaruddin, Angie enggan dan bahkan tidak mau menatap si penanya.Tatapannya lurus ke depan. Ia juga sangat berhati-hati dalam menjawab setiap pertanyaan Nazaruddin juga penasehat hukum Nazaruddin, ia memperlambat suara, dan melakukan pengendalian diri sangat ekstra.

Saat itu, Nazaruddin bertanya "Saudara saksi ingat tidak ketika saudara berada di ruangan saya bersama almarhum suami saudara. Kita ngamplopin uang bareng untuk DPC-DPC. Masak iya saudara saksi lupa?' Sebuah pertanyaan yang ilustratif.

"Tidak. Saya tidak pernah melakukan itu," jawab Angie, dengan wajah lurus ke depan.

Namun berbeda ketika Angie menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum. Dengan cepat dan lugas Angie menoleh ke kiriri tempat duduknya Jaksa, menatap wajah dan mata Jaksa tersebut, dan menjawab pertanyaan Jaksa dengan cepat. Saat itu, pertanyaan berkaitan dengan pendidikan Angie. Kebetulan, Angie sedang menempuh kuliah S3 di Universitas Indonesia, jurusan Komunikasi. Bagi Angie, pertanyaan Jaksa bukanlah pertanyaan yang menyudutkan, justru menjadi pertanyaan yang membangkitkan harga dirinya.

Saya ingat pernyataan seorang pakar yang pernah mengatakan bahwa, ketika di persidangan seseorang dihadapkan pada pertanyaan yang menyudutkan posisinya dan mengancam dirinya, maka gesture tubuh orang tersebut akan tertutup, seperti tidak maunya ia melakukan kontak mata, tatapan lurus ke depan, dan bahasa fisiknya adalah menutup diri. Berbeda dengan seseorang yang merasa aman dengan pertanyaan tersebut, maka ia akan memperlihatkan postur tubuh yang terbuka.

Saya justru tertarik dengan pernyataan Jaksa pada Angie, “Salah boleh, tapi tidak boleh berbohong. Saudara lulusan S2 Komunikasi UI dan sedang melanjutkan S3 Komunikasi UI. Ada mata kuliah Filsafat Ilmu. Diajarkan pencarian kebenaran. Sebagai calon ilmuwan, apakah Saudara diajarkan tentang ilmu pencarian kebenaran.”

Melihat ekspresi Angie ketika Jaksa mengucapkan kalimat tersebut, Angie justru tertunduk. Jelas sekali, ia sedang menutupi sesuatu.

Lagi-lagi, saya kembali diingatkan perkataan seorang pakar hukum, bahwa ada 3 kebohongan yang kerap kali terjadi di persidangan.

Pertama adalah kebohongan sukarela. Tentu saja Angie tidak mau ia berbohong dan sukarela dihukum demi kejahatan banyak orang. Yang kedua, adalah kebohongan yang diperagakan untuk memanipulatif psikologis yang kompleks. Dan yang ketiga adalah kebohongan di bawah tekanan.

“Menurut kamu, Angie berbohong yang mana?” Aku bertanya pada teman wartawanku. Dia hanya tertawa.

“Dulu, waktu Angie berbohong tidak ada apa-apa dengan Adjie, itu bohong sukarela. Nah kalau yang ini, sudah tau sama tau lah,” kata temanku.

Terlepas apakah Angie berbohong atau tidak, sebagai orang yang pernah mengenal sosok ini, saya sangat yakin bahwa hidup Angie saat ini sangat berat. Ia mungkin sudah membayangkan akan menjalani proses hukum yang sangat berat, harus berhadapan dengan orang-orang yang memberikan tekan besar dalam hidupnya, dan juga harus tetap membesarkan dan memberikan pendidikan pada 3 anaknya dan menjalani kehidupan rumah tangganya dengan senormal mungkin agar anak-anaknya tetap tenang dan nyaman.

“Saya yakin, Angie sedang mengalami depresi berat. Bayangkan, kelak ia harus tinggal di balik jeruji yang jauh dari aroma wewangian,” tulisku menutup perbincangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline