Lihat ke Halaman Asli

Jangan Ragukan SBY dalam Memberantas Korupsi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13887475391751134616

[caption id="attachment_288044" align="aligncenter" width="480" caption="Sumber foto: okezone.com"][/caption]

Dewasa ini, pemberantasan korupsi memang kian mendapatkan perhatian utama dari masyarakat luas. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjadi fokus utama dari masa depan kelanjutan pemberantasan korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat menyadari nilai penting, strategis, dan signifikansi dari kehadiran KPK. Kehadiran lembaga itu merupakan fenomena baru dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Secara historis, kehadiran KPK didasarkan atas ketidakpuasan publik terhadap kinerja kejaksaan dan kepolisian dalam menangani kasus korupsi.

Memang untuk memberantas korupsi tidak mudah dan diperlukan segala sesuatu yang mampu menunjang pemberantasan korupsi itu sendiri. Butuh sistem yang kuat dan perlu waktu juga karena kita baru nyemplung dalam demokrasi. Masih perlu penataan, diperlukan kesabaran. Ada perubahan, tapi tidak seperti perubahan tak kala terjadi revolusi. Benar apa yang dikatakan Presiden SBY dalam berbagai kesempatan bahwa melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan perkara mudah. Pemberantasan korupsi di negeri ini menjadi agenda sekaligus tantangan berat bagi pemerintah, terutama jajaran penegak hukum.

Sekali lagi saya katakan memang ada pihak-pihak yang tidak sabar dengan perubahan dan ingin pemberantasan korupsi secara instan. Perlu kesabaran, memang ada yang tidak sabar. Ada yang merasa pintar, ada yang ahli bidang ekonomi, ngomongnya ekonomi saja, padahal presiden itu harus pikirkan semua hal dan tak mudah jadi presiden. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa ini agar pemberantasan korupsi harus jalan terus dan mendapatkan dukungan semua pihak

Tanggal 9 Desember selalu diperingati sebagai hari antikorupsi sedunia. Dalam konteks Indonesia korupsi masih menjadi sebuah pekerjaan besar yang belum tuntas diselesaikan. Selama beberapa tahun terakhir kita melihat kejahatan luar biasa itu dilakukan dengan cara-cara lebih masif, sistematis, meluas, dan terencana. Apabila di masa lalu korupsi cuma monopoli lembaga eksekutif, maka dewasa ini telah menjangkiti lembaga-lembaga negara lain, yakni legislatif dan yudikatif.

Korupsi seakan telah menjadi epidemi tidak cuma di pemerintah pusat, tetapi juga telah menjalar ke pemerintah-pemerintah daerah. Bahkan, terjadi regenerasi koruptor dimana saat ini koruptor rata-rata berusia masih relatif muda di bawah 40 tahun. Sebagaimana kita ketahui bersama, pemberantasan korupsi telah menjadi agenda utama Presiden SBY sejak pertama kali naik ke kursi kekuasaan tahun 2004.

Dalam sejumlah kesempatan Presiden SBY berulang kali menegaskan pemberantasan korupsi harus menjadi agenda utama. Apalagi saat ini pemerintah tengah giat meningkatkan pendapatan negara dari berbagai sektor. Lebih dai itu, Presiden SBY turut meminta aparat penegak hukum agar pemberantasan korupsi harus ditegakkan tanpa pandang bulu baik dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun partai politik.

Tekad pemerintahan Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi seringkali dilihat tidak lebih dari sekadar pepesan kosong dan retorika politik belaka. Sejumlah pihak menilai Presiden SBY seringkali absen dalam berbagai keadaan genting terkait pemberantasan korupsi dan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, benarkah demikian?

Friksi KPK dengan beberapa institusi/lembaga negara memang seringkali terjadi. Hal itu merupakan konsekuensi dari sepak terjang lembaga antirasuah itu dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sepak terjang menyebabkan KPK tentu akan bergesekan dengan oknum koruptif di beberapa institusi/lembaga negara. Salah satu friksi yang sering muncul adalah dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akibat ulah beberapa oknum yang terindikasi melakukan korupsi.

Ketika muncul friksi dan ketegangan antara KPK dengan Polri dalam kasus “cicak vs buaya” Presiden SBY dengan cepat mengambil langkah-langkah penyelamatan. Ketika itu tiga pimpinan KPK -Antasari Azhar, Chandra Hamzah, dan Bibit Samad Rianto- tidak dapat aktif menjalankan tugas mereka akibat terbelit kasus hukum. Dengan sisa dua pimpinan KPK pun hampir lumpuh.

Meresepons situasi darurat itu Presiden SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang KPK untuk memungkinkan pengangkatan pimpinan KPK sementara. Segera setelah penerbitan perppu itu Presiden SBY menunjuk Tumpak Hatorangan Panggabean, Waluyo, dan Mas Achmad Santosa sebagai pimpinan sementara KPK. Lembaga antikorupsi itu pun selamat dari ancaman kepunahan

Demikian pula saat terjadi ketegangan antara KPK dan Polri pascapenahan mantan Kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo terkait kasus korupsi simulator surat ijin mengemudi (SIM). Saat itu Polri ingin mengambil alih penanganan kasus tersebut. Sedangkan KPK merasa berhak untuk tetap melanjutkan penanganan kasus simulator SIM.

Mencermati ketegangan antarkedua institusi penegak hukum itu, Presiden SBY kemudian mengeluarkan sejumlah arahan keputusan agar penanganan kasus simulator SIM tetap dilakukan oleh KPK agar tidak menimbulkan konflik kepentingan bila ditangani Polri.

Langkah-langkah penyelamatan KPK oleh Presiden SBY tidak hanya sebatas pada penyelamatan para pimpinan lembaga antikorupsi tersebut, tetapi juga dari upaya-upaya pelemahan regulasi yang dilakukan sejumlah elite politik. Ketika pada tahun 2009 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas Rancangan Undang-undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkembang wacana untuk mengurangi dan membatasi kewenangan strategis KPK, seperti menghilangkan penuntutan dan mewajibkan izin sebelum melakukan penyadapan.

Mencermati kemunculan wacana itu Presiden SBY dalam kesempatan sidang kabinet memberikan arahan jelas kepada menteri hukum dan hak asasi manusia selaku wakil pemerintah bahwa rumusan mengenai pengurangan dan pembatasan kewenangan strategis KPK harus ditolak. Hal itu lantaran Presiden SBY menginginkan agar KPK tetap efektif dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi di Indonesia.

Merujuk beberapa contoh kasus di atas agaknya tidak fair untuk mengatakan agenda pemberantasan korupsi sekadar pepesan kosong belaka. Fakta-fakta di atas justru menunjukkan presiden turut berperan aktif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Keberpihakan Presiden SBY terhadap pemberantasan kosrupsi di Indonesia juga ditunjukkan dengan tidak memberikan perlindungan politik kepada orang-orang dekat presiden yang terlibat kasus korupsi, seperti Andi Alfian Mallarangeng dan Aulia Pohan.

Sepintas ada kesan SBY dikelilingi koruptor. Namun di sisi lain, itu bentuk keberanian SBY untuk tidak membela siapapun orang dekatnya yg bermain-main dengan korupsi. Itu warisan yang sangat berarti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline