Lihat ke Halaman Asli

Aidilla Lungguh Arumdipta

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Cadangan Devisa Cetak Sejarah! Apakah Berkat Hak Penarikan Khusus IMF?

Diperbarui: 1 April 2023   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Melansir web International Monetary Fund (IMF), Special Drawing Rights (SDR) merupakan instrumen keuangan berupa aset cadangan internasional. Hal ini berfungsi untuk melengkapi cadangan devisa negara anggota. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia menyatakan bahwa tujuan SDR didasari kondisi perekonomian negara. Maka pada Agustus 2021 pasca pandemi COVID-19, IMF meningkatkan alokasi SDR untuk didistribusikan sesuai kuota negara masing-masing. Saat itu, IMF berhasil mengumpulkan SDR 660,7 miliar yang kemudian digunakan untuk memulihkan perekonomian dari krisis akibat pandemi. Alokasi dana sebesar SDR 456 miliar tersebut terbuka untuk 190 anggota Departemen Hak Penarikan Khusus IMF, dengan salah satunya adalah Indonesia. 

Melihat konteks sejarah, SDR mulai dikenal melalui sistem Bretton Woods dengan konsep nilai tukar tetap. Dimana pada awal beroperasi di tahun 1944, SDR dinilai setara dengan 0.8 gram emas atau satu dollar Amerika Serikat. Namun ketika sistem tersebut tumbang, nilai SDR didasarkan oleh beberapa mata uang yang memenuhi kriteria ekspor dan dapat digunakan secara bebas. Sesuai urutan bobotnya, mata uang tersebut terdiri dari dolar Amerika Serikat, euro, yuan RRC, yen Jepang, dan poundsterling Inggris. Kini selain dari alokasi dana, SDR hadir dalam bentuk keringanan pelunasan hutang serta dukungan untuk kebijakan pengembangan kapasitas perekonomian.

Dalam mendistribusikan bantuan SDR, IMF memprioritaskan negara berkembang dan miskin. Alokasi sebesar 42% tersebut diharapkan dapat memberikan ketahanan terutama bagi negara yang memiliki tantangan ekonomi. Kisaran yang akan diterima negara berpenghasilan rendah adalah 21 miliar dolar AS, atau sekitar 6% dari beberapa PDB negara penerima. Sifat SDR tersebut yang free cost menunjukkan bahwa sistem dibentuk sebagai upaya untuk memperkuat stabilitas. Sebab tidak seperti bantuan IMF yang umumnya didasarkan permintaan pemerintah, SDR tersedia sebagai bantuan dana tanpa hutang. Akibat jangka panjang dari stimulasi perekonomian ini adalah adanya peningkatan kualitas SDM, pemanfaatan SDA, rekonstruksi faktor pembangunan ekonomi, serta membangun kepercayaan atas dampak krisis. 

Special Drawing Rights Indonesia

Sebagai negara anggota IMF, Indonesia menerima 0.98% dari total SDR dunia atau sekitar SDR 4.46 miliar. Angka tersebut merupakan nilai yang lebih tinggi daripada beberapa negara ASEAN lainnya yaitu sekitar SDR 3.5 miliar. Konversi dalam rupiah sebesar 90 triliun tersebut berhasil menambah cadangan devisa negara. Seperti yang dilaporkan oleh Bank Indonesia pada Agustus 2021, dimana cadangan Indonesia mencapai 144,8 miliar dolar AS yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Peningkatan sebesar 7,5 miliar dari bulan sebelumnya tersebut berhasil menempatkan Indonesia di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor. Sebab posisi cadangan devisa tersebut terhitung setara dengan 9 bulan pembiayaan impor. Hal ini pula yang menyebabkan cadangan Indonesia saat itu menjadi ketiga tertinggi di kawasan ASEAN,di bawah Singapura dan Thailand.

Sebelum penerimaan SDR akibat pandemi tersebut, Indonesia juga pernah memanfaatkan hak penarikan bantuan IMF saat krisis moneter 1998. Hal ini dilakukan melalui kesepakatan antara Direktur Pelaksana IMF dan Presiden Soeharto pada 15 Januari 1997. Pencairan dana pertama sebesar SDR 2,2 miliar dilakukan setelah penandatanganan Letter of Intent (LOI) pada bulan Oktober. Ketika bantuan tersebut tidak berhasil, pemerintah kembali melakukan penandatangan LOI untuk mendistribusikan bantuan extended fund facility sebesar SDR 5,3 miliar. Pencairan tersebut dilakukan bertahap hingga tahun 2003, namun hanya mencapai nilai SDR 3,8 miliar. Sebab IMF menilai bahwa perekonomian Indonesia tidak kian membaik dengan adanya bantuan dana. Namun ketika era reformasi terutama presiden SBY, pemerintah berusaha untuk mempercepat pelunasan cicilan hutang negara. Sehingga pada tahun 2006, Indonesia mengklaim telah melunaskan hutang melalui bank sentral. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan IMF saat itu berbeda dengan prinsip SDR yang ditawarkan 2021 lalu. Dimana alokasi SDR pasca pandemi tersebut merupakan konsekuensi keanggotaan Indonesia yang telah membayar iuran IMF, bukan sebagai pinjaman.

Kontribusi Balik Indonesia bagi SDR

Alokasi SDR dilakukan sesuai kuota proporsional yang telah diatur IMF sebagai pemegang wewenang. Namun karena pembagian didasarkan oleh posisi ekonomi negara, mayoritas SDR jatuh kepada negara berpenghasilan tinggi. Hal ini kemudian memunculkan berbagai kritik terutama pada pertemuan tahunan IMF di tahun 2021 ketika dana tersebut didistribusikan.

Salah satu badan yang dapat mendukung implementasi SDR sebagai penguat ekonomi adalah G20. Terutama dengan adanya keselarasan tujuan yaitu untuk memperkuat sistem keuangan global. Kolaborasi antara negara anggota yang berasal dari berbagai kondisi dapat menjadi sarana tercapainya stabilitas ekonomi global. Indonesia dapat menjembatani kepentingan diantara negara anggota G20 agar menghasilkan bantuan yang efektif. Beberapa langkah yang dimaksud seperti melalui penyusunan kerangka SDR terkait bantuan terhadap negara miskin yang terkoordinasi. Selain itu, Indonesia dapat melakukan tindakan preventif berupa pengawasan terhadap implementasi SDR agar perencanaan yang dilakukan tidak disalahgunakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline