Hambatan non tarif merupakan pembatasan perdagangan internasional menggunakan instrumen selain tarif seperti pajak, kuota, atau embargo. Hal ini umumnya diatur dalam perjanjian perdagangan multilateral General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) juga pada UU Nomor 7 tahun 1994. Salah satu pokok pembahasannya adalah kewajiban negara anggota untuk sebisa mungkin mengurangi hambatan non-tarif dalam perdagangannya. Meskipun telah bergabung, Indonesia masih menerima dampak dari hambatan ini dari salah satu pasar terbesarnya, Uni Eropa. Maka bagaimanakah strategi kedua negara dalam menghadapi dinamika tersebut?
Terdapat beberapa metode dalam melakukan hambatan non tarif. Pertama, adanya standarisasi produk impor untuk memastikan pemenuhan standar kualitas negara. Lembaga yang berwenang di Indonesia adalah Badan Standar Nasional dengan indikator Standar Nasional Indonesia (SNI). Kedua, pembatasan jumlah kuota impor dengan harapan meningkatnya persaingan produk domestik. Selanjutnya merupakan pengesahan regulasi khusus yang dapat membatasi gerak produk impor dan mendorong ekspor. Salah satunya adalah subsidi domestik yang dilakukan Uni Eropa untuk meringankan biaya produksi produk lokalnya.
Negara tidak mencapai keputusan ini tanpa alasan, umumnya terdapat beberapa justifikasi dalam aplikasi hambatan non tarif. Pertama untuk memelihara lapangan kerja dalam negeri dari persaingan yang mengancam industri domestik. Kedua, untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak memenuhi standar negara. Hal ini biasanya terjadi pada produk yang memiliki dampak negatif pada lingkungan atau kesehatan. Selanjutnya adalah sebagai upaya untuk melindungi persaingan bagi infant industry. Perlindungan tersebut dilakukan dengan harapan industri baru dapat tumbuh lebih kompetitif di pasar internasional. Terakhir, dilakukannya hambatan sebagai reaksi dari langkah negara lain untuk mempertahankan persaingan perdagangan.
Hambatan oleh Eropa
Pada awal tahun 2013, pasar minyak kelapa sawit Uni Eropa-Indonesia dihadapi oleh hambatan non tarif. UE sebelumnya telah mengimplementasikan standarisasi oleh badan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi ini bertujuan untuk meningkatkan komitmen produsen dalam mengolah produk berkelanjutan serta konsumen dalam membeli produk yang telah disertifikasi. Dinamika dimulai ketika terdapat tuduhan bahwa produk kelapa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan, meskipun sejumlah 110 perusahaan sawit Indonesia telah diakui oleh RSPO.
Alasan terpopuler yang melatarbelakangi hal ini adalah adanya persaingan pasar minyak kelapa sawit Indonesia dan minyak nabati UE. Argumentasi ini sesuai dengan konsep proteksionisme infant industry yang belum memiliki kestabilan kapabilitas ekonomi. Namun selain itu, UE menunjukkan keinginannya dalam melindungi konsumen dari produk yang mencemari lingkungan. Meskipun telah diakui RSPO, kelapa sawit Indonesia tidak memenuhi standar kebijakan Renewable Energy Directive terutama persoalan deforestasi lahan. Regulasi tersebut mulai diimplementasi pada tahun 2020 serta akan berlaku total pada tahun 2030. Produk CPO Indonesia berada pada klasifikasi resiko tinggi Indirect Land Use Change (ILUC) sehingga otomatis tidak dianggap sebagai sumber energi terbarukan yang menjadi fokus perdagangan Uni Eropa.
Beberapa bentuk hambatan non tarif yang dilakukan adalah kampanye dan tekanan dari NGO. Aksi kampanye negatif bahkan telah berlangsung semenjak tahun 1979, ketika Indonesia mengembangkan perkebunan swasta diatas lahan petani kecil. Hal ini kemudian menjadi perhatian pemerintah pada tahun 2008 saat kampanye media mengenai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh produksi kelapa sawit dilakukan secara masif. Selain itu, tekanan dari organisasi Greenpeace dan WWF berhasil terhadap pemerintah berhasil membentuk persepsi masyarakat serta adanya kerjasama bersama RSPO.
Langkah pembatasan ini memiliki beberapa dampak bagi pasar perdagangan Uni Eropa dan Indonesia. Beberapa diantaranya seperti penurunan citra industri CPO di lensa internasional, harga CPO di beberapa provinsi, serta aktivitas petani kelapa sawit Indonesia. Meskipun dalam rentang waktu singkat akan mempengaruhi harga komoditas CPO, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai bahwa dinamika ini tidak akan berpengaruh signifikan pada kuantitas ekspor CPO Indonesia.
Respon Indonesia
Pembatasan yang dilakukan oleh Uni Eropa dinilai sebagai diskriminasi produk oleh pemerintah Indonesia dan memicu respon sebagai pihak terdampak. Indonesia menunjukkan penentangannya melalui gugatan pada Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gugatan tersebut dilakukan dengan dasar anggapan bahwa kebijakan yang dilakukan Uni Eropa telah melanggar prinsip WTO. Tahap awal gugatan dalam bentuk konsultasi telah dikirim pemerintah Indonesia pada Desember 2019. Sebelumnya, penolakan ini juga telah disampaikan pada berbagai forum bilateral seperti IEU-CEPA dan pertemuan WTO.
Selain memberikan gugatan, Indonesia melakukan respon melalui kebijakan hambatan, kampanye, dan pertanggungjawaban lingkungan. Regulasi tandingan Indonesia dilakukan melalui pembatasan ekspor pada produk nikel meskipun telah menjadi negara eksportir terbesar kedua bagi UE. Selanjutnya, Indonesia juga melakukan kampanye media sosial untuk mempromosikan minyak kelapa sawit. Hal ini juga dilakukan secara spesifik pada beberapa negara importir CPO melalui pameran dan festival. Terakhir, Indonesia melakukan berbagai langkah akuntabilitas lingkungan, seperti mengeluarkan metode sertifikasi CPO melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), meratifikasi Perjanjian Paris, serta menerbitkan pembaruan dalam perizinan sektor sawit dan tambang.