Lihat ke Halaman Asli

Aidi Kamil Baihaki

Berusaha melinearkan membaca dan menulis

Maaf, Saya Tak Bisa Memaafkan

Diperbarui: 21 April 2023   23:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Tulisan ini bukan bermaksud untuk menghakimi. Hanya sekedar bahan refleksi dan berharap melalui hal ini saya bisa berintrospeksi.

Sudah lumrah, momen Idul Fitri menjadi ajang minta maaf. Biasanya diawali dengan tulisan-tulisan, gambar atau video di Medsos. Termasuk juga stiker-stikernya. Terutama di grup facebook dan whatsapp.

Saling meminta maaf bukan saja sebagai perintah agama, melainkan sudah membudaya. Sudah biasa!

Kita melakukannya tidak lagi disebabkan adanya perintah. Sudah benar-benar tulus! 

Bukan karena pamer rangkaian kata (tapi kalau pun ada, semoga bukan termasuk anda). Bukan karena pamer kehandalan mengedit video, gambar atau stiker. Meski pun ada niat seperti itu, kan tidak mengurangi nilai permintaan maafnya? Ya, semoga!

Hanya saja, kadang kita kurang totalitas dalam permintaan maaf. Sekedar meminta saja. Hanya sepintas. Seperti masakan kurang bumbu, tawar!

Meminta maaf itu bukan hanya harus dengan ketulusan, tapi wajib dengan niat tidak akan mengulangi. Nah, yang terakhir ini, apakah sudah timbul dalam hati kita?

Jangan-jangan kita minta maaf sekedar ritual lebaran? Begitu saling memaafkan, besoknya secara _sadar atau tidak_ melakukan kesalahan lagi, yang mirisnya, kesalahan sama yang berulang.

Bang Rhoma Irama sudah mengingatkan, lho... Kehilangan tongkat cukup sekali. Jika sekali mungkin karena lupa. Kalau dua kali... itu, mah disengaja.

Wahai para politisi, kalian memampang banner-banner ucapan mohon maaf, apakah sudah dengan berjanji _walaupun cukup dalam hati_, tidak akan korupsi lagi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline