Sebagian kecil orang mengatakan bahwa perginya bulan Ramadlan merupakan kesedihan. Itu disebabkan perginya keluasan berkah yang didapat selama bulan ini. Namun akhir dari bulan ini nyata selalu dinantikan oleh kaum muslimin.
Akhir dari bulan puasa adalah pergantian menuju bulan Syawal, ditandai dengan terlihatnya hilal di ufuk barat.
Hilal adalah wujud anak bulan, atau permukaan bulan yang terlihat tipis.
Dalam tahun Qamariyah, pergantian bulan ditandai dengan konjungsi (kesejajaran) antara Matahari, Bulan dan Bumi.
Sudah sering terjadi perbedaan waktu dalam menentukan akhir bulan Puasa. Biasanya ummat Muhammadiyah menggunakan metode hisab untuk menentukan waktu. Entah itu waktu Syawal atau pun dalam menentukan waktu-waktu shalat.
Sementara Nahdlatul Ulama mengedepankan metode rukyah atau penglihatan.
Tentunya perbedaan ini semakin lama semakin dianggap biasa karena kaum mayoritas muslimin mulai memahami cara kerja masing-masing metode.
Cara Muhammadiyah dianggap lebih modern karena perhitungannya berdasarkan keilmuan astronomis, dan cara NU dianggap tradisional karena tetap mengacu pada cara-cara jaman dahulu ketika perhitungan peredaran Bulan terhadap Bumi belum dikenal kaum muslimin.
Dengan cara Muhammadiyah, tanggal 1 Syawal bisa ditentukan bukan hanya untuk hari esok, bahkan terhadap puluhan tahun berikutnya. Artinya, bagi mereka, satu Syawal sudah pasti.
Hal di atas berbeda dengan NU, 1 Syawal bersifat tentatif. Tetapi bukan berarti NU tidak memahami cara perhitungan astronomis. Banyak pakar-pakar NU yang menguasai perhitungan tersebut tanpa perlu saya rinci nama-nama mereka.
Apakah cara menghitungnya berbeda sehingga hasil ketentuannya tidak sama?