Inklusi kelompok marginal bukan sekadar wacana, melainkan jalan menuju kesetaraan dan kemajuan bangsa yang sesungguhnya.
Pernahkah kita benar-benar memikirkan apa artinya hidup di tengah masyarakat yang "inklusif"?
Bagi sebagian besar dari kita, istilah ini mungkin hanya terdengar seperti jargon sosial yang bertebaran di seminar atau berita.
Tapi, untuk mereka yang hidup di pinggiran, inklusi adalah soal hidup dan mati, soal peluang untuk maju atau terus terjebak dalam lingkaran ketidakadilan.
Perhatian terhadap inklusi kelompok marginal mulai tumbuh, setidaknya di dunia maya.
Orang-orang mencari informasi tentang inklusi, entah untuk memahami konsepnya atau untuk menciptakan konten yang relevan.
Ini adalah tanda positif, tapi pertanyaannya: apakah ini akan berujung pada perubahan nyata, atau hanya menjadi tren digital sementara?
Inklusi Menjawab Tantangan Ketidaksetaraan di Indonesia
Di Indonesia, ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya masih menjadi isu besar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 9,36%, dan kelompok penyandang disabilitas merupakan salah satu yang paling rentan.
Data ini bukan hanya angka, tapi realitas yang dialami jutaan orang. Mereka tidak hanya kekurangan secara ekonomi, tetapi juga seringkali tidak diakui keberadaannya dalam kebijakan publik.
Sudut pandang inklusi melihat bahwa masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan biasa.