Kekuasaan abadi di partai politik, ironi demokrasi yang mengancam regenerasi dan membuka gerbang bagi oligarki.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan dalam dunia politik Indonesia, khususnya terkait dengan status quo kepemimpinan partai politik.
Fenomena ini terlihat jelas dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), di mana Megawati Soekarnoputri tetap menjadi tokoh sentral.
Menjelang Kongres VI PDIP yang dijadwalkan pada April mendatang, dukungan untuk Megawati semakin menguat, bahkan sampai ada aksi simbolik seperti cap jempol darah dari kader-kadernya.
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh figur sentral dalam partai dan menimbulkan pertanyaan besar tentang regenerasi kepemimpinan di tubuh partai politik Indonesia.
Status Quo Kepemimpinan: Menghambat Tunas-Tunas Baru
Status quo kepemimpinan yang dipertahankan oleh partai-partai besar di Indonesia, termasuk PDIP, mencerminkan budaya feodal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam konteks ini, banyak partai politik seolah enggan memberikan ruang bagi kader-kader muda untuk berkembang.
Padahal, regenerasi kepemimpinan sangat penting untuk memastikan bahwa partai memiliki pemimpin-pemimpin baru yang mampu merespons tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Menurut Kunto Adi Wibowo, analis politik dari Universitas Padjadjaran, sikap parpol yang cenderung memelihara status quo ini berakar dari kebutuhan untuk menjaga konstituen dan kekuatan elektoral.
Ketika partai identik dengan satu figur, seperti Megawati di PDIP atau Prabowo Subianto di Gerindra, maka akan sulit bagi kader lain untuk mendapatkan pengakuan dan kesempatan untuk memimpin.