Keterlibatan perempuan dalam AI masih rendah, menciptakan tantangan dan harapan untuk solusi yang lebih inklusif.
Kalau bicara soal teknologi, khususnya kecerdasan buatan alias AI, rasanya seperti sedang mengintip masa depan. Tapi ada satu pertanyaan yang membuat saya mengernyitkan dahi. Kenapa ya, perempuan masih sulit untuk benar-benar terlihat di sektor ini?
Statistik yang Membuka Mata
Menurut laporan dari UN Women, hanya 30% pekerja di bidang AI adalah perempuan. Dari angka ini saja, sudah jelas ada ketimpangan besar.
Forbes (2024) juga mencatat bahwa perempuan hanya menyusun 29% dari total tenaga kerja AI secara global.
Ini bukan sekadar soal angka, tapi dampaknya jauh lebih besar. Ketika perempuan kurang terwakili, teknologi yang dihasilkan pun cenderung tidak inklusif. Bayangkan, sistem AI yang seharusnya netral malah bisa memperburuk bias gender yang ada.
Melansir dari Forbes, penelitian menunjukkan bahwa 44% sistem AI menunjukkan output yang bias gender. AI ini seperti anak kecil yang belajar dari lingkungannya. Kalau lingkungan sosial kita penuh dengan stereotip, ya AI akan mempelajarinya juga.
Jadi, alih-alih menjadi solusi, teknologi ini malah bisa jadi masalah baru.
Contohnya, ada kasus di mana AI untuk rekrutmen kerja lebih sering memilih kandidat laki-laki dibandingkan perempuan, hanya karena data pelamar sebelumnya menunjukkan dominasi laki-laki.
Pengalaman Perempuan di Industri AI
Artikel dari VOA Indonesia, menggambarkan dua profil wanita yang bekerja di industri AI. Rizka Amalia dan Bernadetta Sri adalah cerminan nyata dari tantangan yang dihadapi perempuan di sektor ini.
Mereka tidak hanya harus berjuang dengan kompleksitas teknologi, tapi juga harus menghadapi lingkungan kerja yang, kata mereka, sering kali "tidak ramah."