Menelisik potensi dan tantangan penerapan gaya hidup slow living di tengah dinamika Kota Makassar.
Kehidupan modern saat ini menuntut serba cepat. Rutinitas harian diwarnai kemacetan di pagi hari, tumpukan pekerjaan hingga larut malam, bahkan akhir pekan pun dipenuhi agenda padat. Di tengah kesibukan ini, muncullah tren slow living, sebuah konsep yang mengajak individu untuk menikmati setiap momen, mereduksi stres, dan menjalani hidup dengan lebih bermakna.
Slow living bukan berarti bermalas-malasan atau menghindar dari pekerjaan, melainkan tentang menghargai waktu, menikmati proses, serta membangun koneksi mendalam dengan diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan.
Konsep ini menekankan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta apresiasi pada hal-hal sederhana yang sering terabaikan dalam rutinitas.
Sebagai kota metropolitan yang berkembang di bagian timur Indonesia, Makassar memiliki dinamika tersendiri. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis keselarasan dinamika perkotaan Makassar dengan prinsip-prinsip slow living.
Menimbang Potensi dan Tantangan Slow Living di Makassar
Setelah menelaah berbagai aspek, terlihat bahwa Makassar memiliki potensi untuk mengadopsi gaya hidup slow living, meskipun terdapat sejumlah kekurangan yang perlu diatasi.
Biaya Hidup: Rintangan Utama Penerapan Slow Living
Stabilitas finansial merupakan fondasi krusial bagi penerapan slow living. Sulit membayangkan hidup tenang di tengah himpitan masalah keuangan.
Berdasarkan data Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 12 Desember 2023, biaya hidup bulanan di Makassar mencapai Rp 11.504.942. (Detik.com, Kompas.com, CNBCindonesia.com).
Informasi ini menempatkan Makassar pada urutan kelima sebagai kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia.
Lebih lanjut, sumber-sumber tersebut juga menginformasikan rata-rata pengeluaran per kapita di Makassar sebesar Rp 3.253.338, sedangkan rata-rata pengeluaran rumah tangga menyentuh angka Rp 14.640.022.