Wacana amnesti koruptor memicu dilema antara pemulihan aset negara dan tegaknya prinsip keadilan hukum.
Korupsi, sebuah penyakit akut yang menjangkiti Indonesia, kini kembali menjadi sorotan dengan wacana Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan amnesti kepada koruptor yang bersedia mengembalikan uang hasil korupsinya.
Pernyataan ini disampaikan dalam pidatonya di Kairo, Mesir, pada 18 Desember 2024, dan sontak menuai kontroversi.
Gagasan ini memicu perdebatan sengit, terutama soal apakah kebijakan ini sejalan dengan prinsip keadilan dan supremasi hukum di negeri ini.
Amnesti Koruptor: Idealisme atau Pragmatisme?
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menjelaskan bahwa tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memulihkan aset negara yang hilang akibat korupsi, merujuk pada prinsip-prinsip dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Menteri Yusril Ihza Mahendra mendukung ide ini, menyebutnya sebagai bagian dari kebijakan amnesti dan abolisi yang mengutamakan pengembalian kerugian negara.
Namun, kritik datang bertubi-tubi. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana bagi pelaku korupsi.
Pernyataan ini ditegaskan oleh Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) yang menilai bahwa langkah ini justru berpotensi melemahkan efek jera bagi pelaku korupsi.
Respon Masyarakat Sipil
Organisasi seperti IM57+ Institute dan Transparency International Indonesia turut bersuara.
Mereka menganggap amnesti ini sebagai bentuk pelemahan upaya pemberantasan korupsi.