Kasus penyandang disabilitas yang terlibat dalam kekerasan seksual membuka wawasan baru tentang manipulasi psikologis.
Penyandang disabilitas sering dianggap sebagai kelompok yang rentan, tidak berdaya, bahkan dianggap tidak mungkin melakukan kekerasan seksual.
Namun kasus yang melibatkan Agus, seorang penyandang disabilitas asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, justru membuka tabir sebuah kenyataan yang selama ini sering diabaikan.
Agus, yang mengalami disabilitas fisik, diduga melakukan pelecehan seksual terhadap 15 korban, termasuk anak-anak di bawah umur.
Kejadian ini membuktikan bahwa kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk mereka yang secara fisik terbatas.
Kasus ini tidak hanya mengejutkan karena korban yang terlibat, tetapi juga karena tantangan besar yang diberikan oleh anggapan umum yang keliru.
Bahwa penyandang disabilitas tidak mampu melakukan tindakan jahat.
Namun kenyataannya, Agus membuktikan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi melalui cara-cara yang tidak selalu melibatkan kekerasan fisik, melainkan dengan manipulasi psikologis yang lebih halus namun sangat merusak.
Memahami Kekerasan Seksual di Luar Kekerasan Fisik
Kekerasan seksual memang sering diasosiasikan dengan tindakan fisik yang jelas dan tampak, seperti pemerkosaan atau pencabulan. Namun dalam banyak kasus, kekerasan seksual bisa jauh lebih subtil.
Menurut psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, kekerasan seksual tidak selalu melibatkan kekerasan fisik.