Pada 22 November 2023, kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi yang melibatkan Firli Bahuri, mantan Ketua KPK, mencuat ke publik.
Hingga kini, setahun setelahnya, proses hukum terkait kasus tersebut tampaknya berjalan lambat, dan Firli malah mangkir dari pemanggilan pemeriksaan.
Ini bukan hal yang baru. Ketidakhadiran Firli pada 28 November 2024, meski telah dipanggil oleh penyidik Polda Metro Jaya menambah kekecewaan banyak pihak, khususnya masyarakat yang menginginkan kepastian hukum.
Kasus ini memperlihatkan ketegangan nyata antara penegakan hukum dan pengaruh politik, dengan dampak jangka panjang terhadap integritas sistem peradilan di Indonesia.
Proses Hukum yang Lambat
Kasus ini sudah berlangsung lebih dari satu tahun, dengan tanda-tanda kemajuan yang minim.
Firli Bahuri, yang seharusnya menjadi teladan dalam pemberantasan korupsi, justru menghadapi tuduhan yang menimpanya.
Namun, penyidik Polda Metro Jaya menghadapi tantangan yang tak kalah besar. Absennya Firli dalam beberapa jadwal pemeriksaan yang telah ditetapkan, termasuk yang dijadwalkan pada 28 November 2024.
Meskipun ia sudah dipanggil, alasan Firli untuk tidak hadir adalah bahwa berkas perkara tidak memenuhi syarat materiil yang dianggapnya tidak sah.
Hal ini menambah kontroversi dalam proses hukum yang berlangsung.
Apakah Firli, dengan posisi dan pengaruhnya yang dulu sebagai Ketua KPK, berusaha menghindar dari proses hukum?
Atau ada hal lain yang lebih kompleks, terkait dengan pengaruh politik yang membelit kasus ini?