Pada 2025 mendatang, setelah dilantik kembali sebagai presiden, Trump berencana menaikkan tarif bea masuk impor pada produk dari berbagai negara, termasuk China, Kanada, Meksiko, dan negara-negara anggota BRICS.
Namun, apakah kebijakan proteksionisme ini benar-benar dapat menguntungkan perekonomian AS, atau justru akan menambah ketegangan global yang lebih besar?
Trump dan Tarik Ulur Tarif Impor
Ketika Donald Trump pertama kali mengungkapkan rencananya untuk menaikkan tarif impor, tujuannya jelas, yakni untuk melindungi industri dalam negeri AS dan mendorong lebih banyak investasi asing.
Trump percaya bahwa tarif yang tinggi pada barang impor dari negara-negara tertentu akan membuat produk-produk lokal lebih kompetitif di pasar domestik.
Menurut Business Standard, Trump yakin dengan mengenakan tarif yang lebih tinggi, produk-produk buatan Amerika bisa bersaing lebih baik, karena konsumen AS yang sebelumnya membeli barang impor dengan harga lebih murah, kini akan beralih ke produk lokal yang relatif lebih mahal.
Namun di balik tujuan yang kelihatan sempurna, kebijakan proteksionisme memiliki sisi gelap yang sering kali terabaikan.
WOLA menyebutkan bahwa tarif yang tinggi juga berfungsi sebagai alat negosiasi dalam perdagangan internasional.
Alih-alih mendorong negara-negara untuk mengurangi ketergantungan mereka pada AS, tarif yang tinggi justru dapat digunakan oleh Trump untuk memaksa negara-negara tersebut melakukan kompromi dalam perjanjian perdagangan.
Bahkan China, yang sudah dikenakan tarif hingga 50%, akan menghadapi tambahan kenaikan tarif menjadi 60%.
Tarik ulur semacam ini memang berfungsi sebagai strategi tawar-menawar, namun apakah dampaknya hanya bersifat jangka pendek?
Menilik Keuntungan dan Kerugian Jangka Pendek
Dalam jangka pendek, kebijakan tarif tinggi ini bisa memberikan keuntungan bagi industri AS.