Pemborosan makanan di Indonesia adalah masalah besar, terutama jika mengingat bahwa negara kita itu kaya sumber daya alam.
Menurut data Bappenas, sampah makanan diperkirakan mencapai 112 juta ton pada 2024, setara dengan 344 kg per orang per tahun.
Angka ini mengejutkan, karena di saat yang sama banyak keluarga masih kesulitan mendapatkan makan.
Pemborosan pangan ini tak hanya soal limbah, tapi juga bukti nyata ketimpangan sosial dan ekonomi.
Ironi di Tengah Kekayaan Alam
Indonesia, sebagai negara agraris, seharusnya tidak kekurangan pangan. Tapi mengapa dengan kekayaan hasil pertanian dan perikanan kita yang melimpah, pemborosan pangan tetap terjadi?
Menurut Bappenas (2024), pemborosan terbesar terjadi di tingkat rumah tangga, terutama karena kebiasaan konsumsi yang tidak terencana dan berlebihan.
Pola hidup konsumtif menyebabkan pembelian pangan yang lebih banyak dari yang dibutuhkan, sehingga banyak makanan terbuang.
Data dari Badan Pangan Nasional juga menunjukkan bahwa meskipun gerakan Stop Boros Pangan berhasil menyelamatkan hampir 72 ribu kilogram makanan pada 2024, jumlah itu masih sangat kecil dibandingkan dengan total pemborosan yang terjadi.
Temuan Bappenas ini sejalan dengan penelitian oleh Mewa Ariani dan Herlina Tarigan. Pemborosan pangan sering disebabkan oleh ketidaksadaran dalam mengelola makanan.
Misalnya, kita sering membeli bahan makanan lebih banyak dari yang bisa kita konsumsi, yang akhirnya terbuang begitu saja.
Bahkan, kadang kita memasak dalam porsi berlebih yang tidak habis dimakan. Kebiasaan ini ternyata sangat umum di banyak rumah tangga Indonesia.