Rahayu Saraswati, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, membawa anaknya ke rapat di Gedung DPR/MPR RI. Hal ini menjadi sorotan publik.
Kejadian ini memicu perdebatan hangat di media sosial. Sebagian pihak melihat langkah tersebut sebagai bentuk fleksibilitas kerja yang patut diapresiasi, sementara yang lain menganggapnya kurang profesional dalam konteks dunia kerja.
Isu ini tidak hanya mengangkat batas antara peran keluarga dan karier, tetapi juga mencerminkan dilema yang sering dihadapi orang tua pekerja.
Membawa anak ke tempat kerja, meskipun terlihat sederhana, adalah keputusan yang kompleks, sering kali lahir dari kondisi yang mendesak dan keterbatasan pilihan.
Realitas Orang Tua Pekerja di Indonesia
Di Indonesia, peran ganda orang tua pekerja masih menjadi tantangan besar, terutama bagi perempuan.
Data dari World Bank (2021) menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam angkatan kerja stagnan di angka 53 persen selama dua dekade terakhir. Ini menunjukkan bahwa perempuan sering kali harus memilih antara karier atau tanggung jawab keluarga.
Salah satu penyebabnya adalah minimnya dukungan institusional. Misalnya, fasilitas daycare di tempat kerja masih jarang ditemukan, sementara budaya kerja kita cenderung kaku.
Dalam situasi seperti ini, membawa anak ke tempat kerja menjadi solusi terakhir bagi orang tua, terutama saat tidak ada alternatif lain.
UNICEF (2024) menegaskan bahwa kebijakan ramah keluarga sangat penting untuk mendukung keseimbangan kerja dan kehidupan keluarga.
Profesionalisme yang Kontekstual
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan profesionalisme? Selama ini, banyak orang mendefinisikannya sebagai bekerja tanpa gangguan dan memisahkan kehidupan pribadi dari karier.
Namun, kehidupan nyata tidak sesederhana itu. Membawa anak ke tempat kerja tidak serta-merta menandakan kurang profesional, tetapi tergantung pada konteksnya.