Mahkamah Pidana Internasional (ICC) membuat langkah mengejutkan dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk tiga tokoh penting: Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, dan pemimpin Hamas Mohammed Deif.
Tuduhannya tidak main-main, kejahatan perang.
Keputusan ini menjadi sorotan dunia, tidak hanya karena bobot tuduhan yang diajukan, tetapi juga karena implikasinya terhadap dinamika hukum internasional di tengah tekanan geopolitik yang kompleks.
Langkah ini memicu reaksi beragam dari berbagai pihak.
Ada yang melihatnya sebagai terobosan penting untuk menegakkan keadilan global, tetapi tidak sedikit pula yang mempertanyakan kemampuannya untuk diterapkan, terutama di tengah resistensi dari negara-negara berpengaruh.
Keputusan ini tidak hanya berbicara soal hukum, tetapi juga tentang bagaimana hukum internasional dapat bertahan di tengah kekuatan politik global yang sering kali saling bertentangan.
Seberapa jauh hukum internasional mampu menegakkan keadilan, terutama ketika kekuatan geopolitik menjadi hambatan besar?
Keberanian di Balik Surat Penangkapan
Satu kata untuk ICC, keren.
ICC jelas menunjukkan keberanian. Dalam konteks hukum internasional, ini adalah sinyal penting. Pelaku kejahatan perang tidak akan lolos begitu saja, meski mereka adalah pemimpin negara kuat.
Tuduhan terhadap Netanyahu dan Gallant termasuk kejahatan berat, seperti menggunakan kelaparan sebagai metode perang melalui blokade Gaza.
Sementara itu, Mohammed Deif dituding bertanggung jawab atas serangan besar-besaran Hamas yang menewaskan warga sipil.