Berita tentang kecurangan dalam seleksi guru PPPK memunculkan keprihatinan mendalam. Guru honorer, yang selama bertahun-tahun berjuang dengan gaji minim untuk mendidik generasi muda, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Sistem yang seharusnya memperbaiki kesejahteraan mereka justru dirusak oleh praktik tidak adil.
Program ini awalnya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan mutu pendidikan.
Namun, di lapangan, kecurangan seperti percaloan dan manipulasi data terjadi. Beberapa kepala sekolah, pejabat daerah, dan pihak lain yang tidak terkait langsung dengan pendidikan memanfaatkan kelemahan sistem ini untuk keuntungan pribadi.
Seleksi yang seharusnya adil berubah menjadi ajang eksploitasi, melukai niat awal pemerintah dan merugikan mereka yang benar-benar berkompeten. Fenomena ini tidak hanya mencederai guru honorer tetapi juga integritas pendidikan nasional.
Guru Honorer: Pejuang yang Diabaikan
Guru honorer sudah lama menjadi tulang punggung pendidikan kita, terutama di daerah pelosok. Dengan gaji yang kadang hanya cukup untuk ongkos, mereka tetap menjalankan tugasnya.
Menurut laman Indonesia.go.id, pada tahun 2020, jumlah guru non-PNS di Indonesia mencapai 937.228 orang, dengan 728.461 di antaranya berstatus guru honorer sekolah. Banyak di antaranya bergaji di bawah standar.
Apa yang membuat mereka bertahan? Dedikasi.
Namun, bagaimana rasanya jika bertahun-tahun mengabdi, mereka justru disingkirkan oleh peserta seleksi yang membayar suap?
Praktik ini tidak hanya melukai hati para guru, tapi juga membahayakan pendidikan anak-anak kita. Guru yang masuk tanpa kualifikasi memadai akan berdampak langsung pada kualitas pembelajaran di kelas.
Menjual Mimpi, Menggadai Moral
Kecurangan dalam seleksi ini tidak hanya dilakukan dengan satu cara.
Melansir dari Harian Kompas, di Langkat, Sumatera Utara, misalnya, kepala sekolah meminta uang hingga Rp 50 juta dari guru yang ingin lolos seleksi.