Pada Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi naik dari 11 persen menjadi 12 persen. Angka kenaikannya mungkin terlihat kecil, hanya satu persen, tetapi dampaknya berpotensi besar.
Dari pasar hingga meja makan keluarga, kebijakan ini menjadi perbincangan hangat. Bagi banyak orang, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah, kenaikan ini akan jadi beban tambahan, terlebih di tengah tekanan ekonomi yang sudah ada.
Meski demikian, pemerintah berargumen bahwa langkah ini diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung program sosial, dan menjaga stabilitas fiskal.
Namun, apakah kenaikan ini benar-benar solusi terbaik untuk menyeimbangkan anggaran negara? Ataukah justru menjadi tantangan baru bagi rakyat yang sudah berada di ujung kemampuan ekonomi mereka?
Memahami Dampak Langsung pada Masyarakat
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga menyumbang 55,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal ketiga 2024. Itu artinya, aktivitas belanja masyarakat menjadi motor utama ekonomi kita.
Ketika PPN naik, dampaknya akan langsung terasa di kantong kita.
Bayangkan, belanja bulanan yang biasanya Rp 1 juta menjadi Rp 1,012 juta. Perubahannya memang tampak kecil, tetapi jika diakumulasi, angka ini bisa menggerus daya beli.
Inflasi menjadi kekhawatiran utama.
Data per Oktober 2024 menunjukkan inflasi mencapai 3,2 persen, mendekati batas atas target Bank Indonesia. Kenaikan PPN bisa menjadi pemicu tambahan, memperbesar tekanan bagi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
Kalau daya beli mereka menurun, konsumsi domestik yang menjadi andalan pertumbuhan ekonomi pun akan melemah.