Mike Tyson, sosok yang dulu dianggap “Pria Terjahat di Planet”, kini berdiri di atas ring melawan Jake Paul, seorang influencer muda yang lebih terkenal karena video di internet daripada prestasi di olahraga.
Bagi penggemar tinju sejati, momen ini seperti menonton seorang maestro bermain piano yang harus bersaing dengan DJ amatir di sebuah festival musik.
Pertanyaannya, apakah olahraga seperti tinju kini telah berubah arah menjadi semata hiburan massal?
Antara Hiburan dan Kompetisi Sejati
Pertandingan antara Tyson dan Paul pada 16 November 2024 lalu di Texas memberikan kita gambaran baru tentang bagaimana olahraga bisa berubah menjadi strategi pemasaran.
Aturan pertandingan, seperti penggunaan sarung tinju 14 ons yang lebih berat dari standar profesional, jelas menunjukkan bahwa duel ini lebih mengutamakan keamanan dan hiburan daripada esensi kompetisi.
Hasilnya? Tyson, yang kini berusia 58 tahun, terlihat seperti “bison tua” yang dijadikan samsak hidup oleh Paul.
Jika kita tarik dalam konteks masyarakat Indonesia, hal ini mengingatkan pada tren acara tinju selebriti seperti Superstar Knockout. Dalam acara ini, tinju berubah menjadi panggung selebriti untuk menarik penonton, daripada menjadi arena adu keterampilan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa olahraga tidak lagi hanya soal kompetisi, tapi juga soal popularitas dan uang.
Kenapa Ini Terjadi?
Menurut Yanuar Kiram dalam jurnal Industrialisasi dan Komersialisasi dalam Olahraga (2017), komersialisasi olahraga merupakan dampak langsung dari globalisasi, di mana fokus olahraga bergeser dari prestasi atletik menjadi keuntungan finansial.
Olahraga, yang dulunya murni soal prestasi atletik, kini berubah menjadi industri hiburan. Kasus pertandingan Tyson-Paul adalah contoh nyata.
Bayaran Tyson yang mencapai 20 juta USD menjadi indikator jelas bagaimana hiburan lebih dihargai daripada warisan prestasi.