Hidup di bawah kolong jembatan bukanlah kehidupan yang mudah untuk dibayangkan, apalagi dijalani.
Di Jakarta, tepatnya di Kolong Jembatan Pakin, Pademangan, ada sekelompok orang yang harus hidup di sana, bukan karena pilihan, tetapi karena keadaan.
Dilansir Kompas (2024), Jumiati, salah satu dari mereka, telah bertahan hidup selama 26 tahun di sana bersama keluarganya. Di tempat yang sempit, gelap, dan pengap, kehidupan mereka seperti berjalan di antara tembok keterbatasan ekonomi yang kokoh.
Melihat kehidupan mereka membuat saya berpikir. Apakah benar kita bisa menutup mata terhadap kesenjangan yang terjadi di sekitar kita?
Di bawah kolong jembatan, puluhan warga, dari anak-anak hingga lansia, harus hidup di bedeng-bedeng kecil dari kayu dan seng.
Bukan hanya tentang kenyamanan, tapi soal layak atau tidaknya tempat ini sebagai rumah. Rumah, bagi sebagian besar orang, adalah tempat untuk beristirahat, merasa aman, dan berkumpul dengan keluarga.
Tapi bagi Jumiati dan keluarganya, rumah itu adalah ruang sempit di bawah jembatan.
Keterbatasan Ekonomi yang Mengurung Warga
Tidak ada yang mau hidup di tempat semacam itu, apalagi selama puluhan tahun. Namun, keterbatasan ekonomi sering kali memaksa mereka untuk menerima keadaan.
Jumiati sendiri mengaku bahwa penghasilan suaminya sebagai tukang ojek online tidak cukup untuk menyewa rumah yang lebih layak.
Sebagian besar penghasilan harian mereka habis untuk kebutuhan sehari-hari dan ongkos sekolah anak.
Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa keterbatasan ekonomi bisa menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus.