Sebagai orang yang berkutat dalam roda birokrasi Indonesia, gagasan penerapan Agile bagi aparatur sipil negara (ASN) terdengar segar, namun mengundang tanya, "Mungkinkah konsep ini hanya sekadar wacana?"
Di tengah budaya kerja ASN yang penuh aturan dan hirarki bak tembok tinggi, Agile hadir seperti angin segar, membisikkan kebebasan dan fleksibilitas yang hampir tak terbayangkan.
Fleksibel dan cepat beradaptasi. Namun di balik daya tariknya, muncul keraguan: bisakah sistem yang lincah ini diterapkan di profesi yang begitu kaku?
Melalui tulisan ini, saya mengajak pembaca menimbang peluang dan tantangan penerapan Agile bagi pelayanan publik yang lebih responsif.
Tantangan Budaya Birokrasi yang Kaku
Budaya birokrasi Indonesia yang kaku menjadi tantangan besar dalam menerapkan sistem Agile.
Menurut Zulyani dalam Jurnal Spirit Publik (2020), karakter birokrasi yang hierarkis dan penuh aturan ketat adalah penghambat utama bagi Agile, yang menuntut fleksibilitas, kolaborasi lintas tim, dan adaptasi cepat.
Sistem Agile butuh ruang untuk bergerak lincah, namun birokrasi kita sangat terbiasa dengan aturan tetap dan prosedur baku.
ASN kita sudah lama mengikuti alur yang ketat, di mana setiap langkah harus sesuai prosedur. Dengan Agile, setiap anggota perlu cepat mengambil keputusan dan beradaptasi, sesuatu yang bertentangan dengan pola kerja yang sangat prosedural.
Jadi, mungkinkah ASN kita benar-benar bisa menerapkan Agile di tengah budaya yang terbiasa dengan aturan pasti?
Pola Pikir yang Lebih Nyaman dengan Stabilitas
Selain budaya kerja, pola pikir ASN juga menjadi tantangan besar.
Menurut Permatasari dan Muttaqin dalam JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan (2023), ASN cenderung nyaman dengan stabilitas dan patuh pada aturan yang jelas.